Aku terbangun dari tidur sesaatku mendengar suara ke-dua adikku membangunkan. Ku buka mata menatap wajah mereka risau. Aku tak ingin mereka nanti menderita di bawah tanggung jawabku.
Bagaimana ini? Kebingungan kembali mengisi kepalaku mengingat tiga hari lagi hari H.
"Ayo kak bangun, nenek panggil sarapan" kata Reza, aku bangun membasuh wajah lalu melihat mamah yang masih tertidur, kembali ku teruskan langkah ke teras belakang bergabung bersama anggota keluarga yang lain.
"Sini nak" panggil mereka, ku lihat semua wajah yang ada terlihat murung, ku rasa itu bukan hanya karena keadaan mamah, tapi juga ada hubungannya dengan keluarga Kamil.
Tanteku meletakkan sebuah piring di hadapanku, kami semua telah duduk bersiap menikmati sarapan bersama, dan bisa saja ini yang terakhir kali berkumpul bersama sebelum mereka kembali ke kediaman masing-masing.
"Aku terima perjodohan itu"
Semua orang membeku menatap ku nanar, mata mereka membulat berkaca-kaca, tersirat raut wajah keheranan juga terharu, lalu nenek berdiri dari dudukannya menghampiriku.
"Kamu yakin nak?" tanya beliau ingin aku memperjelas ucapan.
"Iya nek, tapi aku mau bertemu dengan calon..." bibirku rasanya kelu tak sanggup berucap kata selanjutnya. "Calon suamiku" sambung ku berat hati rasanya.
"Iya nak, kami akan menghubungi Haris (nama calon suamiku) biar dia datang ke mari" sela tanteku raut wajahnya terlihat bahagia, begitupun dengan anggota keluargaku yang lainnya, tampaknya mereka sangat menyukai keluarga Kamil itu.
"Nggak tante, aku mau bicara berdua di luar" tolak ku pelan. Aku tak mau pembahasan serius menyangkut kehidupan ku selanjutnya di campuri keluargaku, cukup sudah soal jodoh ku mereka yang memilihkan, tidak dengan kehidupan ku selanjutnya. "Boleh ku minta nomor Haris?" dengan senang hati mereka memberikan.
Setelah sarapan bersama aku kembali ke kamar mamah melihat keadaan beliau, soal merawatnya ada perawat yang lebih paham akan keadaan beliau, jasanya telah di sewa keluarga Kamil.
Masih aku bergejolak dengan perasaan ku, aku tak sepenuhnya yakin apa lagi ikhlas akan perjodohan ini, tapi kembali lagi pada ucapan tanteku, demi ke-dua adikku juga mamah.
Ku tinggalkan mamah ke kamar ku untuk menghubungi om Haris. Ku tekan satu persatu digit angka telepon yang tanteku berikan.
Tut..
Tut..
Tut.."Halo"
Suara bariton menyambar telinga ku, membuat nafasku terasa tercekat mendengar pertama kali suara seseorang yang akan menjadi suami ku.
"Ha-halo, ini dengan om Haris?"
"Iya saya sendiri, ini dengan siapa?'
"Tami"
Keheningan terjadi di seberang sana. sedetik, dua detik, hingga tiga detik.
"Anak sulungnya Shafira?" tanyanya setelah keheningan.
"Iya om"
"Bagaimana dengan keadaan mamah mu?"
Aku terdiam sedih. "Tidak banyak kemajuan"
"Yang sabar yah"
"Iya om"
"Oh iya, ada apa?"
Aku kembali teringat dengan tujuanku. "Bisa kita bertemu sekarang?"
"Tentu, di mana?"
Ku rasa ia pun ingin bertemu denganku. "Cafe perempatan jalan"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti Mamah
RomanceBukannya menjadi anak tiri, aku justru menjadi istri bagi calon ayah tiriku.