Om Haris menanggapi panggilan dokter, ia juga membantu ku bangun bersama duduk di hadapan dokter.
"Bagaimana keadaan istri saya dok?"
"Nggak apa-apa, untung lukanya nggak dalam, beberapa hari lagi akan sembuh"
"Syukurlah," seruku bersama om Haris lega. Ia mengusap kepalaku.
"Selamat pak,.." kami menoleh pada dokter yang masih ingin mengatakan sesuatu. "Istri anda hamil, usia kandungan nya memasuki 24 hari" sambungnya.
Aku termangu seakan tak percaya ucapan dokter barusan, di dalam perutku ada sebuah janin. Pantas aku merasa diriku aneh, juga perutku terkadang sakit, belum lagi aku memang sudah telat menstruasi.
Ku rasa benih om Haris tumbuh saat kami melakukannya sebelum ia pergi selama tiga minggu.
"Mas, aku hamil," seruku menggenggam tangannya, tak dapat ku sembunyikan kebahagiaan di wajahku saat ini. sedangkan om Haris masih termangu tak dapat berkata-kata, ia pasti sama tak menyangka nya seperti diriku.
Setelah menebus vitamin untuk ku kami kembali pulang ke rumah. Aku tak hentinya tersenyum bahagia keinginan ku terwujud akan menjadi seorang ibu. Tak hentinya ku usap perutku yang masih belum buncit dengan menyandarkan kepalaku ke pundak om Haris.
"Mas,." Ku tarik kepalaku menatapnya yang tampak tak tenang gelisah, berkali-kali menatap keluar jendela, sesekali dia mengepal tangan. Ada apa dengannya? Apa ia tidak bahagia aku hamil.
Menuju jalan pulang ke rumah hanya keheningan yang ada, om Haris tak pernah bersuara ataupun sekedar tersenyum menanyakan keadaanku atau keadaan anaknya.
Begitu tiba ia membukakan pintu untukku masih dengan raut wajahnya yang tak terlihat senang. Aku makin keheranan ia masuk lebih dulu tanpa ku atau tanpa menggandeng tanganku seperti biasanya. Ku ikuti ia akan bertanya nanti saat kami di dalam kamar.
"Duduk Tami" titahnya tegas sesaat kami berada di sekitar ruang tengah, aku sempat terkejut dengan intonasinya.
"Kenapa mas?"
"Duduk!"
Aku melonjak terkejut akan intonasinya yang makin tinggi, aku bingung apa salahku, kenapa ia tiba-tiba begitu.
"Kak, bagaimana keadaan kakak?" sela kedua adikku.
"Reza, Rezi, tinggal kan kakak kalian, om ingin bicara berdua, kembali lah ke kamar" titah om Haris sama tegas nya pada kedua adikku.
Ya tuhan, mengapa suamiku bersikap seolah-olah aku melakukan kesalahan besar setelah mengetahui aku hamil.
"Ada apa om?"
"Reza,!"
Buk Ina segera menggapai Reza dan buk Sari menggapai Rezi membawa mereka menjaga jarak dariku.
"Mas kenapa? Kenapa mas begini? Aku salah apa?"
Ia mendekat kearah ku, ku lihat raut wajahnya terpancar kesedihan, kemarahan, juga kekecewaan yang tak biasa, Apa salahku? Seingat ku aku tak melakukan kesalahan apapun, bahkan sebelumnya kami baik-baik saja dengan perencanaan akan berlibur bersama.
Ia berdiri tepat di hadapanku, kekecewaan yang tak dapat ku jelaskan tergambar jelas, matanya berkaca-kaca berwarna agak kemerahan, dahinya mengkerut hebat bak kehilangan semangat.
"Anak siapa yang kamu kandung?"
Deg!
Hatiku serasa di hantam dengan keras mendengar pertanyaannya, secara tak langsung ia tak mengakui anak yang ku kandung adalah anaknya. Mataku seketika berembun, awan-awan halus memenuhi menghalangi pandangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti Mamah
RomanceBukannya menjadi anak tiri, aku justru menjadi istri bagi calon ayah tiriku.