"Wih, kakak mau kemana?"
Tanya Rezi begitu aku dan om Haris bergabung ke meja makan. Mereka menatapku dari bawah hingga ke atas.
"Mau ke hotel" jawab ku berada di tengah-tengah mereka.
"Tumben" ucap Reza
"Kakak ipar kalian nggak mau pisah dari kakak" bisikku dengan suara keras, buk Ina dan buk Sari tertawa.
"Hum, betul itu" om Haris mengakui sembari mengoles selai pada rotinya.
Setelah sarapan bersama ku antar kedua adikku menghampiri pak Kuji.
"Pak, nggak usah mengantar saya, saya bawa mobil sendiri" titah om Haris. Setelah kedua adikku menyelami kami, mereka pergi di antar pak Kuji.
"Kita naik mobil yang satunya?" tanya ku
"Bukan, tapi mobil sport mas"
Ia menggandeng tanganku ke garasi, tapi garasinya yang ini berbeda, sedikit ke belakang, aku sering berada di sekitar garasi itu tapi tak pernah masuk, pintunya selalu tertutup. Selama menikah om Haris tak pernah mengeluarkan kendaraan apapun dari dalam garasi khususnya itu, hanya suara kendaraan mengaum yang terdengar samar-samar.
Perlahan pintu garasi mulai tersingkap naik.
"WOW!!"
Aku kagum hingga terheran-heran melihat sebuah mobil Lamborghini berwarna hitam yang ada di dalam sana. Seumur hidupku baru pertama kali ini melihat secara langsung mobil sport yang hanya bisa ku lihat di layar ponselku.
"Ini mobil Lamborghini kan mas!?"
Ia terkekeh akan ke kampungan ku mungkin.
"Lamborghini Aventador" terangnya
"Mas kok nggak pernah pake mobil ini?"
"Mas ke hotel kan buat kerja bukan buat gaya-gayaan, lagi pula kalau di antar sama pak Kuji perjalanan enteng mulus"
"Tapi mobil mas ini kan jadi jarang di pake"
"Makanya kamu belajar menyetir biar bisa bawa mobil ini"
"Aku boleh bawa!?"
"Kenapa? Ini kan mobil mas berarti mobil kamu juga"
"Aku bakal minta di ajarin bawa mobil sama pak Kuji"
Aku sangat bersemangat ingin segera belajar mengendarai mobil.
"Memang selama tiga minggu mas pergi kamu ngapain? Kok nggak berlajar menyetir"
Pertanyaannya membuat ku teringat dengan kesalahpahaman ku dulu, membuat ku buta hati hingga berteman dengan Gino. Tapi untung semuanya jelas sebelum kepulangan om Haris, dan Gino aku harap dia tak akan muncul lagi.
"Hey, kok melamun, sudah membayangkan yah kamu yang mengendarainya?" aku tersenyum mengangguk. "Ayo" ajaknya.
Sepanjang perjalanan terus ku perhatikan interior mobilnya yang sangat mewah dan berkelas.
"Harganya berapa mas?"
"8,7 Miliar"
Sontak mataku membulat, aku mangap mendengar harga fantastis selangit itu.
"Wow! Pajaknya mahal pasti yah"
"Hahaha... Kenapa kamu malah memikirkan hal itu sayang"
"Aku nggak mau deh pake mobil mas, terlalu berisiko"
"Beresiko apa?"
"Kalau lecet, atau nggak sengaja ke seruduk penyok gimana?"
"Makanya ada yang namanya belajar yang baik dan benar"
Ia menambah kecepatan menyalip beberapa kendaraan dengan mulus, rasanya aku seperti pemeran wanita di film The Fast And Furious Michelle Rodriguez dan om Haris sebagai Vin Diesel hehe..
Tak lama perjalanan kami tiba di depan gedung hotelnya, semua mata tamu dan pegawai menatap kami, mungkin om Haris jarang memakai mobilnya ini ke hotel. Aku saja selama empat bulan menikah baru tahu ia memiliki Lamborghini.
Di bukanya pintu untukku. aku turun dengan bergandengan tangan memasuki hotel.
"Selamat pagi pak, buk," sapa para pegawainya ramah pada kami.
"Tunggu di ruangan mas yah, mas mau ngomong dulu sama pak Maki manager hotel"
"Aku ikut," pintaku sedikit manja mengayunkan tangannya yang ku genggam, ia tersenyum mengangguk membawaku bertemu dengan managernya, juga pegawainya yang lain.
Aku hanya duduk mendengarkan pembahasan mereka yang serius. Sebagai seorang istri dari pemilik jasa akomodasi aku harus tahu sedikit tentang perhotelan.
Sesekali ia menoleh kearahku yang duduk di kursi lain, ia tersenyum berucap tanpa suara padaku sabar yah, sebentar lagi ku rasa itu yang ia ucapkan.
Setelah hampir dua jam mereka membahas perkembangan hotel, semua bawahannya berdiri dari dudukan mereka memberi hormat pada om Haris juga padaku lalu keluar.
"Ayo ke ruangan mas" ajaknya berdiri dari duduknya pula mengulurkan tangannya padaku.
"Mas keren banget tadi"
"Keren bagaimana?"
"Mas ngarahin pegawai mas dengan cara mas yang tegas tapi nggak ketus, ekspresi serius di wajah mas buat aku gemas tau, terus mas selalu mendengarkan setiap masukan pegawai mas dengan tenang, memberi mereka waktu untuk mengutarakan ide-ide mereka, aku salut sama sikap penghargaan mas"
"Mas memang pemilik hotel ini, tapi tanpa pegawai mas hotel ini nggak akan berkembang, dan mas sangat menghargai ide-ide mereka karena itu untuk perkembangan hotel kita"
"Aku benar-benar bangga sama mas.." ku peluk lengannya sembari berjalan ke ruangan nya, tak mengindahkan para pegawainya yang menundukkan pandangan tersenyum-senyum melihat kami. "Rasanya pengen aku cium" imbuhku ia tertawa mempercepat langkahnya menuju ruangannya.
Sesaat menutup pintu ia berbalik menyambar bibirku. Ku lingkarkan kedua tanganku ke pundaknya membalas setiap gerakan bibirnya. Tanpa melepaskan ciumannya ia membawaku duduk ke atas meja kerjanya.
Tok! Tok! Tok!
"Hahh"
Ia membuang nafas kasar menatapku lesu.
"Haha... Siapa tahu penting mas, kita juga nggak boleh main di sini"
"Kenapa?"
"Ini bukan di rumah, gimana kalau mas malah kepengen"
"Sayang,," ia mencubit hidung ku. "Ini hotel mas, kita bisa langsung pindah"
"Iya juga sih, tapi ini kan lagi di lingkungan kerja mas"
"Sedikit saja""Tahan mas"
"Kamu lupa yah, mas ajakin kamu biar kita bisa dekat terus, biar bisa...
Tok! Tok! Tok!
"Tuh mas buka"
"Sini mas buka" ia malah membuka kancing bajuku.
"Mas,,! Bukan baju aku yang di buka, tapi pintu ih,!"
"Iya istriku"
Ia berbalik meninggalkan ku ke arah pintu. Aku pun turun dari mejanya berpindah ke sofa merapihkan gincuku yang di rusak oleh ciumannya.
"Sayang,.." panggilnya
"Iya mas"
"Mas keluar dulu yah, ada teman-teman mas di cafe"
Aku mengangguk mengijinkan, tinggal aku seorang diri.
Aku menunggu hampir setengah jam di ruangannya, kesendirian mulai membuatku bosan, ku putuskan ke cafe juga menikmati camilan sembari menunggunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti Mamah
RomanceBukannya menjadi anak tiri, aku justru menjadi istri bagi calon ayah tiriku.