"Kok kamu kesini nggak bilang?" tanya om Haris membuatku teringat dengan tujuanku.
"Ini, aku bawa handphone mas" ku keluarkan ponselnya dari dalam tas ku.
"Kenapa nggak minta pak Kuji saja"
"Pak Kuji sedang keluar, beli pesanan buk Ina"
"Sini duduk" ku ekori ia berjalan kearah sofa yang tersedia di dalam ruangannya. "Kamu masih marah?" tanyanya lagi dengan tersenyum.
"Gimana aku nggak marah mas, mereka ngomong yang enggak-enggak, mereka menghina ku" kekesalan ku belum hilang, masih menggelayuti perasaan ku.
"Kan sudah di usir, mereka nggak akan berani lagi melamar di sini"
"Jangan sampai mas terima lamaran mereka atau sekedar melihat data mereka, awas aja kalau aku lihat mereka kembali ke hotel ini lagi aku ugh! Akan ku jambak rambut mereka" geram ku makin menjadi-jadi, senyum om Haris makin menjadi pula.
"Sudah, mereka sudah pergi" ia menggeser cangkir tehnya ke hadapan ku. "Minum dulu biar kamu tenang"
"Nggak bisa mas, aku benar-benar kesal" bibirku mengerucut saking kesalnya.
"Iya, kan sudah mas usir"
"Tapi tetap saja Ugh! Ugh! kesal tau" ku kepal kedua tangan ku di depan tubuhku, mengetatkan rahang saking kesalnya, om Haris malah terkekeh.
"Iya,. sudah, mereka nggak akan mas biarkan mendekat ke hotel ini, sekalipun mereka ingin menginap"
"Pokoknya nggak boleh yah sama sekali terima mereka"
"Iya,"
"Kalau lihat mereka di depan langsung saja di usir"
"Loh, nggak segitunya juga"
"Mas,,.!" kesal ku merengek ia tertawa
"Iya, iya,. Sudah ah marahnya"
Ku sandarkan tubuh membuang pandangan ke luar jendela masih dengan ekspresi kesal di wajah ku yang belum bisa ku kontrol, juga bibirku yang masih cemberut belum bisa ku kondisikan, om Haris malah tak hentinya tersenyum.
"Ayo makan siang" ajaknya
"Aku nggak lapar" balasku lesu mungkin terdengar manja masih bibirku cemberut.
"Kamu mau makan apa?"
"Es krim" ia malah terkekeh. "Ayo" ia berdiri, akupun ikut berdiri.
Setiap kali aku merasa kesal ataupun marah aku selalu menikmati es krim sesudahnya untuk mendinginkan kepala.
"Tunggu mas"
Aku berhenti membenarkan high heels yang ku kenakan, aku berpegangan padanya dengan bergandengan tangan.
"Kenapa?"
"High heels ini longgar sudah keseringan di pake"
"Kan ada yang lain"
"Aku suka high heels ini, ini pemberian mbak Mila"
"Ohh.."
Aku siap bergerak kembali.
"Mau pakai sepatu mas"
"Haha... Terus mas pakai high heels aku?"
"Nggak muat, mas nyeker saja"
"Hahaha... Nggak apa-apa, ayo" ku peluk lengannya bersama meninggalkan hotel.
"Istri pak Haris masih muda yah," lagi bisik itu yang ku dengar. "Mereka biarpun beda jauh tapi so sweet" imbuh yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti Mamah
RomanceBukannya menjadi anak tiri, aku justru menjadi istri bagi calon ayah tiriku.