Ku raih ponselku menghubungi salah satu temanku semasa bekerja di club malam, ia pernah melakukan suatu kesalahan hingga hamil di luar nikah.
Tut..
Tut..
Tut.."Halo, ini aku Tami"
". . ."
"Kau masih memiliki nomor telfon dokter yang menggugurkan kandunganmu?"
". . ."
"Yah, aku ingin memintanya"
". . ."
"Sudahlah, itu urusan ku, tolong kirim nomornya"
Hatiku benar-benar kalut saat ini, aku sudah di penuhi pikiran bodoh, apa artinya seorang anak jika tak di inginkan ayahnya.
Setelah menghubungi dokter dan membuat janji, aku bergegas membersihkan diri bersiap-siap. Dokter juga mengatakan mungkin tak akan butuh waktu lama untuk menggugurkan janinku karena usianya masih muda.
Sekali lagi ku tatap perutku di depan cermin.
"Maafkan bunda nak, maaf kan bunda"
Deg!
Tiba-tiba hatiku rasanya sakit sekali harus melenyapkan anak yang selalu ku inginkan bersama om Haris.
"Nggak, nggak, aku nggak boleh melemah, ini demi kebaikan kami, percuma juga dia hadir jika dia akan di benci oleh ayahnya"
Ku mantap kan hatiku akan rencana ku ini. Aku turun ke lantai bawah hendak memenuhi janji ku dengan seorang dokter.
"Buk.. Saya keluar dulu yah"
"Mau kemana mbak?" tanya buk Ina, aku bingung apa yang harus ku katakan pada beliau, tiba-tiba saja semua alasan lenyap dari kepala ku.
"Aku.. Aku.. Aku ada janji dengan teman"
"Kemana mbak? Pak Haris tau?"
"Jangan di kasih tau"
"Jangan pergi nak, kenapa ibu merasa kamu akan melakukan sesuatu pada diri mu"
Bagaimana bisa beliau tahu apa yang akan ku lakukan pada diriku.
"Mungkin lebih baik selamanya pernikahan kami tanpa adanya anak"
"Jangan bicara seperti itu nak"
Ku lepaskan tangan buk Ina meneruskan langkahku keluar dari rumah dengan segera.
"Pak....! Pak e..! Ikuti nak Tami..!!" pekik beliau di sertai tangis memanggil pak Kuji suaminya. Ku percepat langkahku berlari kearah taksi yang telah tiba.
"Jalan pak" titah ku segera menutup pintu melihat semua pengurus rumah berlari kearah taksi yang ku tumpangi.
"Kemana mbak?"
"Jalan saja dulu nanti saya kasih tau! buruan pak!"
Sopir segera melajukan mobilnya.
"Kemana mbak?"
Ku sandarkan tubuhku menatap keluar jendela mengingat akan tujuanku.
"Klinik ***"
20 menit berkendara aku tiba di depan klinik itu. Begitu turun dari taksi kakiku rasanya berat untuk melangkah, seakan keraguan menahan kakiku, ketakutan memenuhi kepalaku dan kesedihan membuat perutku sakit. Oh tuhan maafkan aku akan melenyapkan karuniamu, tapi karunia ini bencana di pernikahan ku, maafkan hamba mu ini.
Ku angkat kakiku memasuki klinik aborsi tersebut, di dalam tak ada pasien, hanya seorang perawat entah di mana dokternya.
"Buk Tami,?" sapa perawat yang juga berprofesi sebagai resepsionis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti Mamah
RomansaBukannya menjadi anak tiri, aku justru menjadi istri bagi calon ayah tiriku.