Bab 58. Gubuk Kontrakan

24.8K 967 57
                                    

Jam 05:30 pagi aku sudah membersihkan diri, aku juga telah berpakaian lengkap, koper dan tas-tas ku tumpuk di samping pintu.

ku tinggalkan kamar ku untuk ke kamar adikku. Tanpa mengetuk pintu aku langsung membukanya.

Mereka menoleh menatap ku lesu, mereka juga telah membersihkan diri dan berpakaian lengkap. Aku mendekat duduk di tengah-tengah mereka.

"Maaf yah, kakak mungkin nggak bisa memberikan kehidupan yang layak seperti saat kita di sini"

Mereka menggenggam tanganku di kedua sisi. "Kita kan memang sudah biasa kak hidup sederhana sewaktu masih ada papah sama mamah" balasan mereka seolah siap menderita dengan ku, tapi aku akan bekerja keras untuk mereka.

"Ayo, bawa barang-barang kalian ke teras depan, kita tunggu om Haris bangun di ruang tamu"

Mereka mengangguk mulai mengeluarkan barang-barang mereka ke teras depan, mereka juga mengambilkan barang-barang ku menatanya di depan.

"Mbak," panggil buk Ina bersama buk Sari, ku hampiri mereka dan ku peluk erat, sekali lagi air mata kami tumpah akan berpisah mungkin kami tak akan bertemu lagi.

"Mbak benar-benar ingin pergi?" cicit buk Sari sesenggukan

"Iya buk, ini sudah kesepakatan bersama om Haris, perceraian akan di lakukan setelah aku lahiran"

"Jangan lupakan kami yah mbak"

"Seharusnya aku yang bilang begitu, jangan lupakan kami yang buk"

"Kirim alamat kalian yah"

"Iya buk"

Mereka terus menemani ku di ruang tamu sembari menunggu om Haris bangun. Tepat jam 06:00 pagi, om Haris menuruni anak tangga dengan langkah tergesa-gesa. Melihat kehadiran nya aku berdiri dari duduk ku, dan ia berdiri di hadapanku.

"Mas, aku sama si kembar pamit yah"

Suaraku bergetar begitupun mulut ku bergetar hebat, wajah om Haris tak jelas terlihat terhalang ambun yang menghalangi pandangan.

"Apa harus seperti ini?"

Suaranya tak kalah bergetar,. Setelah air mataku terjatuh sedikit demi sedikit ku lihat wajahnya dengan jelas. Matanya memerah, juga sedikit bengkak, tampak nya iapun menangis cukup lama.

"Mungkin ini yang terbaik mas, supaya nggak ada lagi yang tersakiti"

Aku tak berani menatapnya, aku takut aku akan goyah menatapnya.

Kami terdiam saling berhadapan tapi tak saling memandang, ku dengar dengusan nafasnya seperti seseorang yang flu. Ku hela nafas berat pelan tak ingin ia mendengarnya. Ku raih tangannya mencium punggung tangannya lama untuk terakhir kalinya, air mataku terjatuh tanpa bisa ku tahan membasahi punggung tangannya, ku tarik wajahku ia menahan tanganku.

Kali ini ku beranikan diri mengangkat pandangan menatapnya. Ia menangis, air matanya bercucuran menatap ku.

"Sampai ketemu lagi setelah aku lahiran,. Kalau bisa maaf... Mas yah yang mengurus perceraian kita, aku siap saja kapan mas ingin kita..." rasanya aku tak sanggup meneruskan perkataan ku. Hatiku sudah cukup hancur saat ini di tambah dengan kata yang akan ku ucapkan menambah kehancuran hanya menyisakan ruang kosong tanpa isi. "Aku siap saja kapan mas ingin kita bercerai" sambungku berusaha kuat.

"Tidak Tami," lirihnya

Ku letakkan kartu ATM yang pernah ia berikan padaku, aku merasa tak berhak lagi memilikinya.

"Nggak, itu milikmu, itu mas buat untuk kamu" tolaknya tak mau menerima kembali.

"Nggak mas, begitu aku keluar dari rumah ini aku nggak pantas lagi memakai embel-embel nama mu, mulai hari ini juga aku kembali menjadi Tamiana Garma"

Pengantin Pengganti MamahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang