"Kamu sudah tidur?" tanya om Haris memelukku dari belakang.
"Belum"
"Mas perginya cuma tiga minggu"
Ia masih membahas soal itu, bahkan membuat pengecualian. Aku diam berat hati rasanya mengijinkan.
"Tami," panggilnya lagi.
"Hum"
"Ini yang mau mas bantu sahabat mas dari SMA, dia orangnya baik banget, dia yang membantu mas memulihkan nama baik hotel mas waktu insiden penggerebekan waktu dulu"
Setelah ku pikir-pikir aku tak seharusnya bersikeras melarang nya pergi, bukan hanya karena itu sahabatnya, tapi sebagai seorang istri yang menikah karena perjodohan, ku rasa terlalu melunjak bagiku bersikap seperti itu, bagaimana jika om Haris muak dengan sikapku ini.
"Iya boleh, tapi usahain juga hubungin aku, jangan nanti kalau pas balik aja, aku kawatir mas, bahkan belum mas pergi aja aku udah khawatir"
Ia mengeratkan pelukan, dagunya berada di leherku. "Istri mas khawatir juga yah sama mas" ucapnya di samping telinga ku.
"Wajarlah mas kalau aku khawatir, aku kan istri kamu"
"Iya, makasih yah sayang sudah mengizinkan"
"Kapan mas pergi?"
"Besok siang"
"Hah! Kok mendadak?"
"Mas lupa ngasih tau kamu, mas fokus sama kemarin masalah dengan Arman itu" Aku berbalik kearahnya memeluknya, wajahku terbenam ke dada bidangnya. "Jangan pergi jauh-jauh yah" katanya
"Mau ke mana? Aku aja nggak pernah ninggalin rumah selain ke hotel mas"
"Yah kamu yang nggak mau keluar jalan-jalan kek, shopping, nonton atau apa lah"
"Malas mas, dari dulu aku memang jarang keluar rumah kalau nggak ada keperluan"
"Mas nggak tahu bagaimana mas nanti nggak melihat mukamu, nggak mendengar bawel mu, mas mungkin akan sakit tanpa kebiasaan mas itu" ceracau nya membuatku tertawa. ternyata pria paruh baya milik ku ini bisa menggombal juga. "Oh iya mas punya fotomu, mas lihat kamu begitu saja"
"Hum!" Ku tarik wajahku terkejut. "Foto apa? Kapan mas foto in aku?"
"Pas kamu masih tidur, muka-muka bantal, ada ilernya juga"
"Hah! Aku nggak ileran yah mas"
"Memang kamu tau kalau bangun sudah kering"
"Aaa.. Mas, nggak yah"
"Hahaha.."
Ia makin mendekapku erat membenamkan wajahku ke dadanya sampai-sampai aku kesulitan bernafas.
"Mas aku nggak bisa nafas" ku tepuk-tepuk pundak nya
"Haha... Maaf, mas gemas"
"Gimana kalau kita foto bareng jadi mas bisa lihat foto kita kalau lagi kangen sama aku"
"Sekarang? Saat kita nggak pake apa-apa begini"
"Yah pake baju dulu"
Aku bangun memakai kemejanya dan ia cuma memakai celana bahan yang tadi ia kenakan.
"Sini handphone mas" pintaku ia memberikan tanpa bertanya. "Sandinya berapa?"
"Tanggal, bulan, dua angka terakhir tahun pernikahan kita"
Ku tekan angka 9 untuk tanggalnya, angka 4 untuk bulannya, angka 23 untuk tahun pernikahan kami.
Bip
Kuncinya terbuka, ku buka kamera depan, aku bergaya duduk di depan selangkangannya, kami berpose di atas tempat tidur dengan ia memelukku dari belakang, menopang dagunya pada pundakku dan tersenyum. Ckret!.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti Mamah
RomanceBukannya menjadi anak tiri, aku justru menjadi istri bagi calon ayah tiriku.