Bab 1 (Pilu)

3.4K 44 0
                                    

"Jangan terlalu serius dengan pernikahan ini. Aku menikahi kamu hanya karena amanah Hilya. Ingat! Kamu hanya abdi ndalem keluarga. Pengasuh anak-anak!"

Gus An menatapku dingin. Ucapannya sungguh menusuk jantung. Aku bergeming dalam kepiluan yang mendalam, dengan mengingat status sosialku.

Laki-laki itu mulai keluar dari kamar. Aku yang saat ini tengah menemani putra kembarnya tidur, perlahan bangkit.

Rasanya dada ini begitu sesak. Ingin aku lari meninggalkan putra putri almarhum Ning Hil, tapi amanah terakhir Beliau membuat aku lemah dan beku.

***

Sore ini aku pulang ke rumah Mbah Uti. Wanita tua renta dan satu-satunya keluargaku.

"Kenapa sore-sore datang ke sini?" tanya wanita renta yang berbaring di atas tempat tidur itu.

"Aku ditelepon sama paklik. Katanya Mbah Uti, sakit."

"Sakite wong tuwo, Nduk. Biasa, awakmu ora perlu khawatir!"

Senyum lembut yang terukir di bibir Mbah Uti, seolah memintaku agar aku tidak terlalu mencemaskannya.

"Inggih, Mbah."

Aku mengangguk dengan terus memijat kaki Mbah Uti.

"O, Iyo. Nduk! Yaopo kabare putra putrine Ning Hil?"

"Sehat sedoyo, Mbah."

"Titip arek-arek yo, Nduk! Rumaten sing apik! Ilingo, mbiyen Ning Hil sayang banget karo kowe!"

Aku mengangguk-angguk.sembari mengulik ingatan tentang masa laluku.

***

Aku gadis kecil 6 tahun yang telah menjadi yatim piatu. Dibesarkan dalam keluarga pesantren dengan kehidupan yang layak dan pendidikan yang baik.

Sekali pun aku masuk dalam keluarga itu sebagai cucu abdi ndalem.

Ning Hil, tidak pernah memandangku sebelah mata. Dia sangat menyayangiku. Aku bagai adik kandungnya sendiri.

Makanan lezat kesukaannya, selalu dibaginya denganku. Kesempatan membeli mainan atau pun baju baru, tak pernah dilewatkan tanpa mengajakku.

Apa yang dia miliki, aku pun memilikinya, apa yang dia nikmati aku pun menikmatinya.

Dan hal itu lah, yang membuat aku tidak sanggup mengabaikan amanahnya.

****

Kanker pankreas stadium 4, membawaku pada kenyataan pernikahan yang tidak pernah aku kehendaki.

Menjadi istri seorang kaya raya. Anwar Zahid Al Ma'ruf, cucu seorang Kiai, dan putra seorang guru besar.

Gus An, sapaannya. Dia adalah seorang magister ilmu perbankan syariah.

Keahliannya dalam ilmu tersebut membuat dia terjun langsung mengembangkan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) yang didirikan oleh ayahnya, guna membantu usaha-usaha produktif dan investasi untuk meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil yang ada di daerahnya.

Dalam kepemimpinan Gus An, BMT berkembang pesat, hingga mampu membangun rumah sakit di pertengahan kota, dan beberapa klinik di daerah pinggiran.

Bukan hanya itu, Gus An juga dapat mengembangkannya dengan membangun lebih dari 20 mini market yang tersebar di beberapa daerah hingga keluar kota.

Dan hal itu yang membuat Gus An dapat memberikan pendidikan gratis di yayasan yang dibangun oleh orang tuanya, serta menjadi donatur tetap  di pesantren milik keluarga Ning Hilya.

***

Amanah terakhir Ning Hilya begitu membekas dalam ingatan.

Dia menitipkan tiga balitanya padaku, membawaku pada situasi menikah di bawah tangan sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya.

"Aku ingin melihat kamu menikah dengan Fa, Mas!" pintanya pada Gus An.

"Hanya Farzana yang aku percaya untuk merawat Adiba, Akbar, Arkan."

Kalimat itu terucap di suatu malam sebelum Ning Hil meninggal.

Dengan terpaksa, Gus An, menyetujui wasiat terakhir istri tercintanya.

Setelah perundingan antara keluarga Ning Hil dan Gus An, akhirnya kita menikah, di kamar rumah sakit, di detik terakhir Ning Hil benar-benar menghembuskan napas terakhir.

Aku meratapi perih dalam hati, ditengah amanah besar ini. Aku yang baru saja lulus SMA, harus mengubur impianku menjadi seorang sarjana.

****

Kini genap empat puluh hari Ning Hil meninggalkan kami, dan genap empat puluh hari juga aku berada di rumah Gus An, merawat Adiba, Akbar, dan Arkan.

Gus An, masih terlihat dirundung duka.

Berusaha menutupi kepiluan dengan memperbanyak kesibukan di tempat kerja.

Aku tak berani memandang laki-laki itu, meskipun dia adalah suamiku, karena setiap kali mendekat, hendak menghiburnya, dia selalu mengingatkan tentang perasaannya yang masih mendalam pada Ning Hil, dan tentang status sosialku.

Baginya aku hanya pengasuh anak-anak yang tinggal di rumahnya, bukanlah seorang istri yang harus dia cukupi lahir batinnya.

****

Pagi kembali datang, aku mulai sibuk mengurus anak-anak Gus An. Dari memandikan sampai menyiapkan sarapan.

"Mbak Fa! Adiba rewel, minta disuapin sama Mbak Fa," kata Ningsih asisten rumah tangga keluarga Gus An.

"Inggih, Mbak."

Aku yang masih belum selesai memandikan Akbar dan Arkan bergegas menuju meja makan, meninggalkan dua bocah berumur 1 tahun itu bersama Ningsih.

"Ummi!"

Adiba yang duduk bersama abinya di meja makan langsung turun menghampiriku, bergelayut di pahaku.

Aku pun perlahan mengangkat tubuhnya, menggendong gadis kecil empat tahun itu dengan penuh cinta.

Ku dudukkan dia di kursi, tepat di depan abinya, lalu aku menarik kursi dan duduk di sampingnya.

"Ummi! Aku nggak mau makan kalau nggak disuapin ummi," rengeknya dengan menggeleng-gelengkan kepala.

Aku tersenyum dengan mengusap lembut rambut ikalnya.

"Sudah umur 4 tahun, Mbak Adiba, harus mandiri, belajar makan sendiri!" tuturku.

Aku menyendok nasi, sayur, dan lauk, kemudian meletakkannya di hadapan Adiba.

"Ayo, ummi temani, ummi mau lihat pinternya anak ummi, yang sudah bisa makan sendiri!" rayuku dengan memberinya motivasi.

Terdengar Gus An meletakkan garpu dan sendoknya.

Aku melihat ke arahnya. Gus An menatapku dingin.

"Aku tidak mau lagi mendengar anak-anakku memanggil kamu ummi, karena panggilan itu hanya milik ibu kandung mereka."

Ucapan Gus An, sungguh membuatku tersentak. Kalimat dinginnya benar-benar memilukan.

Aku tersenyum tipis, meski rasanya aku ingin menyeringai.

"Kata Uti Ummi, Mbak Fa adalah ummiku, Bi," celetuk Adiba dengan suara polosnya.

Aku menyentuh lembut pundak Adiba.

"Mmm ... kata Abi benar. Cuma Ummi Hilya lah umminya Mbak Adiba. Jadi, Mbak Adiba tidak perlu memanggil Mbak Fa, ummi," kataku lembut.

"Terus, aku panggil Mbak Fa, apa?"

"Mmm ... Apa ya?" jawabku bingung.

"Apa bunda, biar seperti bundaku di sekolah PAUD?" jawab Adiba polos.

"Mmm ... Iya benar ... bunda saja. Bunda PAUD menemani Mbak Adiba belajar di sekolah, sementara Mbak Fa, menemani belajar Adiba saat berada di rumah. Jadi, panggil bunda saja tidak apa-apa," sahutku sembari memberikan senyum terhangatku padanya.

"Okey, Bunda!" sahut Adiba dengan membalas senyumku dan memeluk pinggangku erat.

Gus An, yang melihat keakraban kami spontan bangkit dari kursi.

Kulihat wajahnya semakin dingin. Terlihat jelas, jika sebenarnya dia tidak menyukai keakrabanku dengan Adiba. Namun rasa itu sengaja dia tahan, karena berkaitan dengan amanah isterinya.

Bersambung

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang