Bab 3 (Gus An Murka)

972 27 0
                                    

"Nduk!"

Bu Nyai Latifah menyentuh tanganku.

"Inggih, Bu Nyai."

"Ayo, melu ummi!"

Bu Nyai Latifah beranjak dari sofa melangkah masuk ke dalam kamar Ning Hilya.

Aku pun bergegas membuntutinya.

Wanita itu terlihat membuka almari baju putrinya.

"Nduk! ini, ini, ini, ini,  baju yang sering dipakai Hilya, katanya kesukaan Gus An. Wis, nanti malam kamu pakai baju ini, biar Gus An terkesan," saran wanita itu.

"Mboten Bu Nyai. Kula ajrih, Gus An mboten kerso."

"Loh! Opo o? Ora opo-opo, ummi yang minta kamu pakai baju ini," katanya meyakinkanku.

"Ayo Saiki rewangi ummi, ngeringkesi barang-barange Hilya! Nanti, mau Ummi shodaqohkan baju yang masih layak untuk orang yang membutuhkan. Biar ada manfaatnya. Dan baju yang disukai Gus An, biar tetap di sini, untuk kamu pakai," kata wanita itu dengan menyentuh pundakku, lalu memintaku membantunya mengemas barang-barang Ning Hilya.

Aku mengangguk sembari bergegas menyiapkan koper, membatu Bu Nyai Latifah mengemasi pakaian Ning Hil yang ada di dalam almari sepanjang 5 meter itu.

****

Tidak terasa magrib telah menjelang, selepas salat, Bu Nyai Latifah berpamitan pulang.

"Nduk, biasane Gus An, pulang jam berapa?" tanyanya saat melipat mukenah yang baru saja dia pakai.

"Mmm ... mboten tentu Bu Nyai. Kadang wayah menten pun wangsul, kadang nggih, mantun Isyak," sahutku.

"Oooh, yo wis. Ojo lali, mengko nggaweo kelambine Hilya sing wes tak cepakke! Biar suamimu terkesan," pesan Bu Nyai Latifah dengan menyentuh lenganku.

"Inggih."

Aku mengangguk.

****

Kini mobil Bu Nyai Latifah sudah meninggalkan halaman rumah Gus An, aku bergegas masuk menghampiri Adiba dan adiknya yang menungguku di dalam kamar.

Terlihat Akbar dan Arkan sudah terlelap di keranjang tidurnya. Sementara Adiba masih gelisah menunggu untuk aku bacakan buku cerita.

Bergegas aku mengambil buku yang ada di rak buku sisi kanan sofa, kemudian berbaring di samping gadis kecil itu, dan membacakan dongeng islami salah satu koleksi milik Ning Hilya untuk putra-putrinya.

Tidak menunggu lama, sepuluh menit berselang, Adiba sudah terlelap dalam tidurnya.

Aku mulai menutupkan selimut ke tubuh gadis kecil itu, lalu perlahan turun dari tempat tidur.

Mataku mulai tertuju pada abaya merah jambu yang sudah disiapkan Bu Nyai Latifah di atas sofa.

Sejujurnya aku ragu untuk memakainya, takut kalau Gus An tidak berkenan aku memakai pakaian almarhum istrinya.

Dreet!

Gawai yang aku simpan di saku daster tiba-tiba bergetar, membuat lamunanku pecah seketika.

Terlihat panggilan dari Bu Nyai Latifah.

"Assalamualaikum, Bu Nyai."

Aku bergegas mengangkat panggilannya.

"Waalaikum salam. Nduk! Arek-arek wis turu?"

"Inggih."

"Alhamdulillah! Ojo lali yo, pakai baju yang sudah ummi siapkan di sofa!" pesannya.

"Inggih."

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang