Bab 72 (Lembur Proposal)

483 45 4
                                    

Aku kembali fokus dengan pekerjaanku.

Sengaja gawai aku non aktifkan hingga tiba waktu pulang.

Tepat jam empat sore, semua karyawan sudah mengemasi barang-barangnya, merapikan meja, bersiap untuk pulang.

Begitu juga dengan aku, aku pun bergegas merapikan meja, meraih tas selempangku, lalu beranjak dari kursi, namun belum sempa kakiku melangkah, tiba-tiba seorang wanita cantik berblazer merah menghampiriku.

Dia adalah Mbak Maya, seorang sekertaris di kantor ini.

"Tolong kamu perbaiki proposal ini, sudah ada beberapa coretan dan petunjuk di dalamnya. Pelajari dengan baik, lalu kamu benahi dengan teliti!" perintahnya dengan suara lirih seraya meletakkan map berisi proposal yang dimaksud serta flashdisk di mejaku.

"Harus dikerjakan sekarang, Mbak?" tanyaku sedikit cemas, karena sungguh sangat melelahkan jika harus kembali duduk di meja kerja.

"Boleh kamu kerjakan di rumah. Tapi ingat, besok pagi sudah harus selesai! Sebelum kamu prin, tunjukkan dulu padaku!" perintahnya.

"Baik mbak," sahutku dengan mengangguk.

Setelah wanita itu meninggalkan meja, perlahan aku meraih map dan flashdisk yang dia tinggalkan, lalu segera memasukkannya ke dalam tas.

Aku membuang napas keras, rasanya sangat lelah, tapi wanita itu adalah karyawan yang sangat berpengaruh di kantor ini, jadi tidak mungkin jika aku menolak perintahnya.

'Oh! Apakah mencari uang memang sesulit ini?'

Kembali dan kembali aku mengeluh dalam hati.

Sungguh bukannya aku tidak bersyukur, tapi aku adalah manusia biasa yang terkadang rapuh.

****

Aku keluar dari kantor konsultan hukum itu dengan berjuta perasaan sedih dan kesal.

Saat mengayunkan langkah menuju kosan Mutia aku berusaha menasihati diri sendiri, tidak ada salahnya mengerjakan semua pekerjaan yang mereka berikan, karena dengan begitu aku bisa menambah pengetahuan dan wawasan tentang sejuta pekerjaan yang ada di kantor itu.

'Iya, ini adalah pengalaman serta pengetahuan baru, dan seharusnya aku bersyukur mendapatkan kesempatan ini, jadi tidak boleh mengeluh!'

Aku mulai mengukir senyum di bibirku. Aku bersyukur karena hatiku sudah lebih tenang dan bisa menerima keadaan ini.

***

Tiga puluh menit kemudian aku pun sampai di kosan Mutia.

Setelah beruluk salam dan menyapa Mutia, aku mulai membersihkan diri di kamar mandi, lalu bersiap untuk salat magrib berjamaah bersamanya.

Selepas salat kami pun mulai makan malam bersama, menyantap mie kuah dengan telur ceplok buatan Mutia.

Kami berdua duduk di matras seperti biasa.

"Fa? Gimana tadi di kantor?" tanya Mutia di sela menikmati mie kuah rasa kare buatannya.

"Mmmm ... senang," sahutku dengan tersenyum.

"Mut, pinjam laptopmu, boleh nggak? Aku ada kerjaan yang belum selesai," tanyaku dengan menatap Mutia penuh harap.

"Mmmm ..."

Mutia menggumam dengan mengangguk.

"O, iya Mut. Tadi, sampai jam berapa Gus An nungguin aku di sini?" tanyaku kemudian.

"Kenapa? Kamu masih ngarepin Gus An, ya?" sahut Mutia dengan senyum menggodaku.

"Enggak."

Aku langsung mengelak, meski jujur saat ini aku masih sangat penasaran dengan sikap Gus An padaku.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang