Bab 14 (Bertemu Sahabat)

601 24 0
                                    

Pagi ini aku mengantar Adiba, Arkan, dan Akbar ke sekolah.

Ketiganya menggandeng tanganku saat menuju pintu gerbang.

Aku berjongkok, lalu mereka bertiga bergantian mencium pipiku, setelah itu bersalaman dan melambaikan tangan, berbalik, berlari memasuki halaman sekolahnya.

Aku tersenyum memperhatikan kebahagiaan mereka bertiga, kemudian membalikkan badan melangkah menuju mobil yang terparkir sekitar lima puluh meter dari gerbang sekolah.

Saat mengayunkan langkah terdengar suara seseorang memanggilku.

"Fa! Fa!"

Suara itu begitu familiar.

Aku menoleh ke sekeliling, mencari asal suara.

"Fa! Fa!"

Di seberang jalan kulihat seorang gadis dengan blouse warna cokelat dan rok panjang melambaikan tangannya ke arahku.

Aku mengernyitkan dahi, menautkan alis, menarik garis bibirku lebar, dan membalas lambaian tangan gadis itu.

"Mutia!"

Aku berteriak kegirangan saat melihat gadis lencir itu.

Sahabat di waktu Aliyah dulu, saat kita sama-sama belajar di pesantren Al Hasan, pesantren milik orang tua Ning Hilya.

Mutia bergegas menyebrang menghampiriku yang saat ini berdiri di trotoar.

"Ya Allah, Fa! Piye kabarmu?" tanya Mutia.

"Sehat. Awakmu yaopo?"

Aku balik bertanya sembari mencium pipi kanan dan kirinya.

"Aku yo, sehat," jawabnya dengan memelukku.

"Alhamdulillah."

Kita pun sama-sama melepaskan pelukan, namun masih saling menggenggam tangan satu sama lain.

"Fa, awakmu kurusan, yo?"

Mutia memperhatikan tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Mosok, se?"

"Iyo. Daet, ta awakmu?"

"Enggak. Memang balunganku cilik," sahutku dengan menarik tangan gadis lencir itu menuju kursi panjang yang ada di setiap tujuh meter jalanan trotoar.

"Ayo lungguh, sik!" ajakku.

"Aku kangen loh, Fa, karo awakmu, meh setahun ra ketemu," kata Mutia dengan meletakkan bokongnya di kursi.

"Podho," sahutku. "Awakmu pasti wis lali karo aku, soale saiki sibuk dadi mahasiswa, to?"

"Halah, awakmu sing lali. WA ku, ora tau mbok bales."

"Mosok? Awakmu ora tau kirim pesen kok."

"Hmmm ... pasti nomermu ganti, yo?"

"Iyo. Nomorku ganti."

Akhirnya aku dan Mutia saling bertukar nomor telepon.

"O, Iyo. Fa. Nganu opo isuk-isuk awakmu nang kini?"

"Ngeterno anak e Ning Hil sekolah, Mut. Iku sekolahane."

Aku menunjuk gerbang gedung sekolah berlantai tiga yang ada di sisi kanan tempat duduk kami.

"Walah, kamu isih momong anak-anak e Ning Hil, toh?" tanya Mutia dengan menatapku.

"Iyo, Mut."

Aku tersenyum.

"Awakmu laopo isuk-isuk liwat kini?" Aku balik bertanya.

"Loh! Aku 'kan kuliah Nang kunu, Fa."

Mutia menunjuk gedung universitas yang ada di ujung jalan.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang