Bab 33 (Farzana pergi dari rumah, Gus An kelimpungan)

835 42 9
                                    

Saat ini aku sudah berada di dalam taksi online.

Taksi itu mulai melaju menuju jalanan kampusku.

Aku turun setelah sampai.

Kuberikan dua lembar uang warna ungu pada sopir taksi tersebut.

Aku menjinjing tas pakaianku kemudian duduk di kursi panjang yang ada di setiap lima meter jalanan trotoar.

Jujur aku sangat bingung.

Ini sudah tengah malam, entah kemana aku harus pergi.

Ke pesantren Al Hasan bukanlah pilihan, karena kedatanganku ke tempat itu pasti akan menyulut pertengkaran antara Bu Nyai dan Gus An.

Pulang ke rumah Mbah Uti juga tidak mungkin.

Seperti yang Gus An bilang, rumah itu reot, bocor, dan penuh lubang. Bisa-bisa Gus An menertawaiku jika aku tinggal di sana.

Ya Allah, aku harus pergi ke mana.

Aku tidak punya uang. Tapi masih ada beberapa juta uang mas kawin dari Gus An di rekeningku. Uang yang sama sekali belum aku sentuh.

Aku sudah berjanji untuk mengembalikan semua barang pemberian Gus An. Termasuk uang ini, sekalipun uang itu adalah hakku.

Tapi sekarang aku sangat butuh, tidak mungkin aku mengembalikannya.

Lebih baik aku gunakan dulu uang ini untuk mencari kos-kosan. Setelah itu aku akan mencari pekerjaan. Dan jika nanti sudah punya uang cukup, akan aku kembalikan semua pada Gus An.

***

Setelah lama berpikir, aku mulai melirik arlojiku, sudah hampir jam 11 malam.

Semilir angin mulai menyentuh pori-pori kulitku. Bulu kudukku berdiri saat melihat sekeliling sudah sepi.

Ya Allah, tidak mungkin aku menggelandang di tepi jalan seperti apa yang dikatakan Gus An.

Aku pun mulai teringat akan Mutia, dan segera menelepon sahabatku itu.

Tidak kusangka, tuhan mempermudah jalanku. Mutia langsung menjawab teleponku.

"Iya, Fa, ada apa?" tanya Mutia setelah membalas salam dariku.

"Mut, saat ini aku ada di depan kampus. Aku baru saja keluar dari rumah Gus An. Aku bingung mencari tempat tinggal. Boleh tidak, untuk malam ini aku menginap di kosmu? Hanya malam ini saja, karena besok pagi aku akan mencari kosan," jelasku dengan suara memelas berharap Mutia membantuku.

"Ya Allah, Fa. Ini udah malam banget. Kok bisa sih, baru sekarang kamu telepon aku? Sekarang cepat kamu jalan ke kos aku, aku tunggu di depan gang!" kata Mutia.

Aku tersenyum haru, mendengar jawaban Mutia yang begitu penuh simpati.

Buru-buru aku bangkit dari tempat duduk, mengangkat tas, menyebrang jalan, menuju tempat kos Mutia yang jaraknya sekitar tiga ratus lima puluh meter dari area kampus tempatku duduk.

Aku berjalan cepat, karena kulihat jalanan sudah sangat sepi, hanya ada pengendara malam di jalan raya dengan motor-motor modif yang digleyer sesuka hati, dan jujur melihat semua itu membuat aku takut sekali.

***

Delapan menit kemudian aku pun sampai, seperti janjinya Mutia benar-benar menungguku di depan gang.

Dengan rela, Mutia membantuku membawakan tas pakaian, dan dengan ikhlas dia juga menerimaku di kamar kosnya.

"Yo, wis, Fa. Sana kamu ganti baju, terus turu!" kata Mutia setelah kita sampai di kamar.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang