Bab 26 (Terlambat lagi)

557 28 1
                                    

Entah apa yang terjadi, aku terjaga sesaat setelah oksigen dipasangkan di hidungku.

"Alhamdulillah sudah sadar," kata beberapa petugas kesehatan saat melihatku membuka mata.

Ternyata aku benar-benar pingsan, dan saat ini tengah berbaring di unit kesehatan kampus.

"Bagaimana keadaan kamu, Dik?"

Ma Sha Allah, kakak senior baik itu ternyata menemaniku.

"Alhamdulillah, lebih baik."

Aku tersenyum.

"Maaf ya, Kak. Sudah merepotkan," lanjutku.

"Sepertinya kamu pura-pura pingsan."

Aku melihat mahasiswa jangkung yang baru saja membuka tirai berbicara kasar padaku.

"Kamu sengaja ya, cari perhatian," tuduhnya sinis.

Aku berkedip-kedip menghindari tatapannya.

Bisa-bisanya dia menuduhku di saat kondisiku lemah seperti ini. Benar-benar pria tidak berperasaan seperti Gus An.

Senior baik bergegas menarik lengan mahasiswa jangkung itu menuju balik tirai, lalu berusaha menasehatinya dengan suara pelan.

"Apaan sih, Ran! Sudah jelas, anak ini tadi pingsan, tekanan darahnya juga rendah, dan dia juga masih dioksigen, masak iya kamu tuduh dia seperti itu!"

Aku berusaha bangkit untuk duduk tegak, karena ingin mendengarkan obrolan mereka yang berada di balik tirai dengan jelas.

"Kelihatan dari wajahnya. Pasti dia anak orang kaya yang dimanja. Tidak bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Sudah tahu kalau mau mengikuti kegiatan ospek sampai sore, tapi malah tidak sarapan. Apa itu artinya? Dia sengaja mencari perhatian di tengah keramaian," tukas mahasiswa jangkung itu dengan suara kesal.

"Dan kamu, percaya sama dia? Hati-hati dengan cewek yang memiliki gangguan mental seperti itu!" lanjutnya dengan mencelaku.

"Ran!"

Kudengar mahasiswa senior baik memanggil temannya yang tiba-tiba pergi meninggalkannya.

****

Aku menunduk lesu sembari memejamkan mata, memikirkan kata-kata kejam mahasiswa jangkung itu.

Baru beberapa menit bertemu, dengan mudah dia menuduhku sehina itu.

'Ah! Tak penting juga aku memikirkannya, masalahku sudah terlalu banyak.'

Aku menyentuh dadaku, menarik napas perlahan, berusaha menenangkan guncangan demi guncangan yang beberapa hari ini mengoyak hati.

"Dik! Bagaimana keadaanmu?"

Aku tersentak saat mahasiswa senior yang baik itu kembali ke ruang rawatku.

"Alhamdulillah, sudah lebih baik, Kak," sahutku.

"O, iya. Aku minta maaf! Tolong jangan diambil hati kata-kata temanku tadi," nasihatnya dengan tersenyum.

"Iya, Kak," sahutku dengan mengangguk.

"O, iya. Kalau boleh tau. Kenapa tadi pagi kamu tidak sarapan?" tanyanya kemudian.

Aku menoleh sejenak, kemudian mengalihkan pandangan.

"Mmm ... Aku tidak sempat sarapan, karena harus mengurus anak-anak sebelum ke kampus."

"Anak-anak? Maksudnya, kamu sudah punya anak?"

Mahasiswa senior itu tercengang.

"Mmm ... Bukan begitu. Aku ini bekerja sebagai pengasuh anak-anak di rumah orang kaya," sahutku dengan menoleh kemudian menunduk kembali.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang