Bab 11 (Gus An Semakin Rewel)

836 28 1
                                    

"Bunda, kenapa abi marah sama bunda?" tanya Adiba tiba-tiba.

Aku tersentak dengan membulatkan mata, kemudian melangkah menghampiri gadis itu.

"Oooh, itu karena bunda lupa tidak memasak," kataku dengan menarik kursi lalu duduk di sebelahnya.

"Apa Adiba juga marah sama bunda karena bunda tidak memasak hari ini?" lanjutku dengan bertanya.

"Mmm ... tidak. Kata bunda di sekolah PAUD, la taqdob wa lakal jannah, jangan marah bagimu surga."

Gadis kecil itu menjawab dengan sebuah hadis yang dinyanyikan dibarengi senyum polos yang mengembang.

"Apa abiku tidak sekolah PAUD ya, bunda? Kenapa Abi tidak tahu, kalau marah membuat jauh dari surga?"

Pertanyaan Adiba sontak membuatku tertawa. Dan, melihat kepolosannya membuat aku bisa melupakan rasa sakit hatiku pada Gus An.

"Mmm ... Nanti kita tanya Abi, ya. Waktu kecil dulu Abi sekolah PAUD atau tidak. Kalau tidak, berarti Abi harus belajar sama Adiba," sahutku dengan mencubit hidungnya.

"Ya, sudah, sekarang, ayo bunda antar ke sekolah!"

Aku pun bangkit dari kursi sembari menggandeng tangan gadis empat tahun itu untuk keluar dari rumah.

****

Tidak terasa sore kembali menjelang. Aku mulai sibuk dengan rutinitasku, mengurus anak-anak Gus An, lalu memasak untuk makan malam.

Aku pikir setelah Gus An marah padaku malam itu. Pekerjaanku akan sedikit berkurang karena dia tidak mau lagi aku layani.

Ternyata, Semua di luar dugaan. Kesibukanku semakin bertambah karena bukan hanya Adiba, Arkan, dan Akbar yang harus aku urus, ayah mereka pun lebih rewel dari tiga bocah itu.

***

Tepat jam tujuh malam, Gus An sudah sampai di rumah.

Laki-laki itu membuka pintu kamar ketika aku tengah menidurkan anak-anaknya di atas ranjang.

"Fa! Siapkan air hangat, aku mau mandi," katanya seraya duduk di sofa dengan melonggarkan dasi dan kerah kemejanya.

Melihat tiga bocah yang sudah tertidur pulas, membuat aku lebih leluasa untuk segera mengerjakan perintah Gus An.

Aku bergegas turun dari ranjang, masuk ke kamar mandi, lalu mengisi air hangat di dalam bathtub.

Saat aku keluar dari kamar, terlihat Gus An sudah memindahkan Akbar dan Arkan di ranjang tidur mereka.

Tanpa bertanya aku langsung membuka almari untuk menyiapkan baju tidurnya.

"Aku belum salat Isyak, Fa. Siapkan juga sarung dan baju kokoku," katanya saat aku mengeluarkan piyama dari almarinya.

'Hmmmh! Dia rajin salat, tapi kenapa tidak bisa bersikap lembut padaku. Mungkin saat salat dia lupa tidak berwudhu.'

Aku meliriknya dengan menggerutu dalam hati.

'Bahkan, mengucapkan minta tolong padaku pun tidak bisa,' lanjutku seraya meraih sarung dan baju koko dari dalam almari.

Kulihat dia sudah masuk ke kamar mandi.

Aku pun bergegas keluar dari kamar, untuk membaringkan tubuhku di sofa yang ada di depan pintu kamarnya.

'Ya Allah! Sampai kapan aku akan tidur di sofa empuk ini, dengan bantal kursi tanpa selimut atau pun guling.'

Gus An begitu kejam, bahkan sekali pun banyak kamar di rumah ini, dia sama sekali tidak pernah menawariku untuk tidur di salah satu kamar itu.

'Oh! Kenapa sepertinya dia begitu membenciku, padahal aku sudah melayaninya dengan baik.'

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang