Bab 38 (Gus An Kesal)

793 39 6
                                    

Sejenak aku hanyut dalam tatapan lembut Gus An.

Namun, aku tidak ingin terlalu lama larut.

Dengan menggunakan seluruh energi, aku mendorong kuat tubuh laki-laki itu.

Dan spontan tangan mungilku juga melayang kuat ke pipinya.

"Jangan kurang ajar padaku, Gus!"

Aku memperingatkan Gus An dengan menunjuk wajahnya.

Dia hanya menghela napas dengan masih menatapku lembut.

Perlahan tangan Gus An mengusap titik merah yang keluar dari sudut bibirnya.

Mungkin aku terlalu keras menampar, hingga membuat sudut bibirnya terluka dan mengeluarkan darah segar.

"Tidurlah! Aku akan berjaga di sini," katanya lembut seraya melangkah menuju sofa.

Aku menghela napas dengan bergegas menuju ranjang Adiba.

Aku membaringkan tubuhku masih dengan tangan gemetar, sungguh mengingat adegan yang baru saja terjadi membuat pikiranku kacau.

Aku menidurkan tubuhku dengan posisi miring membelakanginya, meringkuk di sisi Adiba, meremas jari jemariku yang masih terasa gemetar.

Beberapa saat kemudian kuliah Gus An menghampiri ranjang.

Jantungku kembali berdegup kencang.

Gus An berdiri di ujung kakiku.

Aku melirik sejenak.

Tangannya meraih selimut bulu yang ada di ujung kakiku itu.

Perlahan dia membuka selimut, lalu menutupkannya ke tubuhku.

Sungguh aku terpaku, apalagi ketika tangannya mulai menutupkan selimut di atas tengkuk leherku, wajahnya berada tepat di atas kepalaku, dan embusan napasnya terasa kuat terdengar di telingaku.

Tubuhku semakin meringkuk, dan tak berani bergerak, apalagi ketika Gus An masih saja memperhatikanku.

Kurasakan kemudian, tangannya menyentuh lembut kepalaku.

"Istirahat lah!" katanya seraya berbalik kembali ke sofa.

Dan seketika itu aku dapat bernapas lega.

****

Pagi menjelang, saat membuka mata aku melihat Gus An sudah tidak ada di sofa.

Sekali pun hubunganku dengan Gus An tidak baik-baik saja, namun entah kenapa tanganku ini masih saja melayaninya.

Menyiapkan air hangat, pakaian, dan juga sarapannya.

Ah! Sebenarnya aku enggak. Tapi kebiasaan ini, rasanya tidak bisa aku hindari.

Selepas menata sarapan di meja makan, aku membersihkan diri, bersiap berangkat ke kampus dengan sebelumnya menyuapi Adiba dan membantunya minum obat.

"Bunda jangan pergi!" pinta gadis kecil yang suhu badannya masih terasa hangat.

Gadis itu menyentuh tanganku dengan menatapku penuh harap saat aku turun dari ranjang hendak meletakkan mangkuk berisi sisa bubur yang baru saja dia makan.

Aku bergeming, bingung hendak menjawab apa, karena sebenarnya aku ingin segera keluar dari rumah ini.

Gus An yang sudah siap dengan pakaian kerjanya di depan meja rias tiba-tiba mendekat ke arah kami.

"Bunda Fa, hanya kuliah sebentar. Setelah itu bunda akan pulang menemani Adiba lagi," sahut Gus An.

Seketika aku melirik laki-laki itu.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang