Bab 84 (Merajuk)

681 73 15
                                    

"Gus! Gus!"

Aku mulai mengguncang tubuh Gus An.

Laki-laki itu semakin melemah dan aku yang tidak kuat menopang tubuh kekarnya terpaksa harus duduk bersimpuh di lantai.

"Mbok! Mbok! Ningsih! Ningsih!" teriakku meminta tolong.

Bersyukur secepat kilat si Mbok dan Ningsih langsung membuka pintu.

"Ono opo, Nduk?" tanya si Mbok dengan mata membola saat melihat Gus An terkulai lemas di pangkuanku.

"Ambulan, Mbok! Ambulan!" kataku panik dengan air mata yang mulai berlinang.

Si Mbok pun langsung menepuk lengan Ningsih, memberi isyarat agar Ningsih segera menelepon ambulan.

Dengan sigap Ningsih langsung berbalik.

Beruntung di saat yang bersamaan dokter Ali yang diundang Gus An untuk memeriksa Arkan datang bersama asistennya.

"Dokter Ali datang, dokter Ali datang!" ucap Ningsih girang saat melihat dokter Ali dibimbing oleh pembantu Gus An yang lain masuk ke dalam rumah.

Ningsih dan si Mbok pun langsung membimbing dokter Ali dan asistennya untuk masuk ke dalam kamar.

Dokter Ali mulai menggantikan posisiku yang saat itu tengah menopang tubuh Gus An.

Dokter langsung membaringkan Gus An di lantai dengan kemudian melonggarkan pakaiannya, dan memeriksa denyut nadi serta saluran napasnya.

Setelah itu dokter Ali bersama asistennya mengangkat tubuh Gus An ke atas ranjang.

"Silahkan tunggu di luar, kami akan memeriksa pasien terlebih dahulu!" pinta dokter kemudian kepada kami.

Aku melihat semua pembantu Gus An memang berkerumun di dalam kamar, jadi wajar jika dokter meminta kami untuk keluar.

****

Kini aku sudah berada di luar kamar. Kudengar mbok Siti mulai memerintah anak buahnya untuk kembali mengerjakan tugasnya masing-masing.

Sementara aku masih menunduk lesu dengan bersandar di dinding.

Aku mulai memijit-mijit keningku.

'Bagaimana ini? Jika terjadi sesuatu pada Gus An, semua adalah kesalahanku.'

"Nduk!"

Si Mbok yang menemani, mulai menyentuh lenganku.

"Nggih, Mbok."

Aku menoleh dengan menyahut lirih.

"Didoakan saja!" kata si Mbok lembut dengan menatap sejuta kecemasan di mataku.

"Nggih."

Aku mengangguk sembari menghela napas dalam, lalu mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan.

Ceklek!

Tidak lama setelah itu asisten dokter Ali keluar dari kamar.

"Bagaimana keadaan Pak Anwar, Mas?" tanyaku penasaran.

Laki-laki berbaju putih-putih itu hanya mengangkat kedua tangan kemudian berlari keluar dari rumah.

Tidak berselang lama laki-laki itu masuk kembali dengan membawa koper berisi peralatan medis ke dalam kamar Gus An.

Aku yang tidak ingin mengganggu aktivitas dokter Ali dan asistennya memilih bersabar untuk menunggu di luar kamar.

Oh! Sungguh! Perasaanku semakin kacau.

Andai saja tadi aku mengalah, tidak membantah Gus An, mungkin tragedi ini tidak akan pernah terjadi.

Aku kembali menunduk lesu.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang