Bab 91 (Rumah Sakit)

510 54 8
                                    

"Pak kita langsung ke mana ini?" tanya sopir Gus An dengan melirik kami melalui spion depan mobil.

Terlihat jelas kalau laki-laki itu begitu canggung melihat sikap kami yang sedari tadi gaduh.

Gus An langsung membenarkan posisi duduknya.

Merapikan jas dan kancing kemejanya.

"Langsung ke BMT Al Mawaddah," sahut laki-laki itu tegas.

"Di kantor pusat, atau cabang, Pak?" tanya sopir lagi.

"Di kantor pusat."

"Siap, Pak."

"Sedikit cepat ya, karena lima menit lagi rapat dimulai," kata laki-laki yang duduk di sampingku sembari melirik arlojinya.

Kemudian dia menoleh ke arahku.

"Ikut aku rapat sebentar," katanya lembut.

"Mmmm ...."

Aku mengangguk.

Laki-laki itu tersenyum seraya meraih tanganku untuk dia genggam.

Melihat perhatian Gus An buat aku betah berlama-lama berada di sampingnya.

Selang beberapa menit mobil pun sampai di sebuah halaman parkir gedung berlantai 5.

Tampak juga di sebelah gedung BMT tersebut sebuah klinik berlantai 4 dan swalayan berlantai 3.

Aku memandangi sekeliling, tidak kusangka ternyata suamiku begitu kaya.

Ini baru satu klinik dan satu swalayan yang aku lihat. Padahal aku dengar klinik dan swalayan milik Gus An sudah menyebar di beberapa kota. Bukan hanya itu, bisnis propertinya saat ini juga sangat berkembang.

Oh! Gus! Kamu begitu kaya.

***

Beberapa saat kemudian kami turun dari mobil, Gus An langsung disambut ramah oleh beberapa pejabat BMT yang ada di sana.

Aku yang digandeng oleh Gus An ikut masuk ke dalam kantor tersebut mulai merasa kagum dengan sikapnya.

Bagaimana tidak, Gus An begitu santun menyapa para bawahannya, bukan hanya itu dia juga menyapa semua nasabah yang ada di sana dengan sangat ramah.

Pribadi Gus An benar-benar luar biasa.

Entah kenapa hanya padaku dia bersikap kasar, kepada orang lain dia bisa begitu sopan dan berbudi bahasa.

Tapi itu dulu, ketika dia belum bisa menerimaku, kini dia sudah berubah, menjadi laki-laki yang begitu baik.

Yang aku dengar, Gus An bukan hanya terkenal dengan keramahan, ketampanan, dan kekayaannya, melainkan juga dengan sikap dermawannya.

Memiliki banyak anak asuh dan menjadi donatur di beberapa yayasan serta panti asuhan.

Ya Allah, tidak kusangka aku menikah dengan laki-laki yang teramat luar biasa.

***

Satu jam telah berselang. Aku yang semula menunggu Gus An rapat di ruang tamu khusus disusul oleh sekertaris Gus An.

"Sudah ditunggu bapak di mobil, Bu!" kata seorang wanita yang sedari tadi sibuk menyuguhkan berbagai bidangan untukku.

"Iya."

Aku mengangguk.

Wanita itu membimbingku keluar dari kantor menuju mobil sedan hitam milik Gus An.

Setelah berucap terima kasih aku bergegas masuk ke dalam mobil tersebut.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang