Bab 13 (Menguatkan Hati)

656 31 0
                                    

Tidak terasa air mataku menetes, dan tanpa kusadari Adiba memperhatikanku.

"Bunda, kenapa menangis? Apa Abi marah lagi seperti kemarin?" tanya gadis kecil itu dengan menggenggam tanganku.

"Memangnya Abi, tadi marah?"

Aku balik bertanya dengan menyeka air mata, lalu menatap gadis kecil itu.

Aku tersenyum lebar berusaha menutupi kesedihanku.

"Mmm ... tidak, Abi tidak marah," sahut gadis kecil itu. "Lalu, kenapa bunda menangis?"

Aku kembali tersenyum dengan menyentuh hidungnya.

"Bunda sakit mata," sahutku seraya bangkit dari kursi, mengambil tisu di ujung kanan meja untuk mengelap bibir dan pipi si kembar yang belepotan karena sisa makanan.

"Sekarang, kakak Adiba ambil tasnya di kamar, sebentar lagi kita berangkat sekolah," kataku pada gadis kecil itu.

"Ok!"

Setelah menjawab, Adiba pun bergegas turun dari kursi menjalankan perintahku.

Aku kembali fokus pada si kembar yang mulai belajar makan sendiri di kursi makan bayinya.

"Mmm ... Fa! Fa!"

Arkan dengan celotehnya yang kurang jelas terlihat mengangkat kedua tangan untuk minta digendong. Begitu juga dengan Akbar, bayi satu tahun itu juga berharap aku segera menurunkannya dari kursi, karena sepertinya mereka berdua sudah sangat bosan.

Aku pun bergegas menurunkan Akbar, kemudian menggendong Arkan.

Setelah membersihkan sisa-sisa makanan di mulut, pipi, dan tangannya, kuajak bayi kembar itu mengantar kakaknya ke sekolah, agar mereka menikmati hiruk pikuk keramaian suasana di kota kelahirannya.

***

Saat ini mobil sudah melaju. Adiba duduk di samping sopir, sementara aku duduk di belakang bersama Akbar dan Arkan.

Kedua bocah kecil ini tampak aktif, memukul-mukul jendela saat melihat mobil-mobil besar berpapasan dengan mobilnya, dibarengi dengan tepuk tangan, celoteh, teriakan, dan tawa.

Sungguh melihat senyum mereka membuatku teringat akan pesan Ning Hilya.

"Fa, dhodoku lara, nggak kuat aku, fa! Titip arek-arek yo, Nduk!" katanya sebelum dia mengalami masa kritis.

Tampak jelas di mataku wajah pucat Ning Hilya, keringat dingin yang terus menetes dari tubuhnya, dan tatapan mata yang semakin hari semakin meredup.

'Ya Allah, sungguh tak mampu aku meninggalkan anak-anak ini hanya karena keangkuhan Abi mereka.'

Tidak terasa air mataku menetes.

Kurangkul dua bocah kembar itu, kemudian kucium ujung kepalanya.

'Kalian adalah kekuatan. Karena hanya untuk kalian, aku sanggup bertahan di sisi Gus An,' kataku dalam hati seraya menyeka air mata yang tiba-tiba tumpah ini.

Dreet!

Terasa gawai di tas selempang kecilku bergetar.

Perlahan aku melepas pelukanku pada si kembar, membuka tas, lalu meraih gawai di dalamnya.

Kulihat sebuah panggilan dari Bu Nyai Latifah.

"Assalamualaikum."

Aku segera mengangkatnya.

"Waalaikum salam," sahut Bu Nyai.

"Piye kabare, Fa?" tanyanya kemudian.

"Alhamdulillah, sehat, Bu Nyai. Jenengan pripun?"

"Podho, ummi yo, sehat. O, iyo. Nduk. Arek-arek yaopo?"

"Alhamdulillah, sehat sedoyo," sahutku.

"Alhamdulillah. Titip arek-arek yo, Nduk! Ummi sik ora isa runu. Mau mbengi Kiai semaput nang njeding, waktu ummi ngopeni arek-arek sorogan kitab. Vertigobe kambuh, terus asam lambunge yo kambuh, dadi saiki, ummi sek repot ngurusi Kiai," cerita Bu Nyai.

"Innalilahi, sakniki pripun keadaane Kiai Hasan, Bu Nyai?"

"Alhamdulillah, sudah lebih baik. Ini sudah di rawat.".

"Teng rumah sakit, to, Bu Nyai? Nopo kula perlu meriko?" tanyaku khawatir.

"Nggak usah, Nduk. Pandungane wae. Sing penting titip arek-arek, openono sing apik."

Suara Bu Nyai terdengar penuh pengharapan.

"Inggih,"

Aku pun mengangguk.

"O, Iyo, Nduk. Yaopo Gus An?" tanyanya kemudian.

"Tasih dereng," sahutku.

"Oalah. Masih belum bisa kamu taklukkan, toh?"

Suara Bu Nyai terdengar sangat kecewa.

"Sepuntene, nggih, Bu Nyai," sahutku penuh rasa bersalah.

"Tapi, kamu nggak putus asa 'kan, Nduk? Isih semangat, 'kan?" tanya Bu Nyai cemas.

"In Sha Allah," sahutku.

"Alhamdulillah," ucap Bu Nyai lega.

"Matur nuwun Yo, Nduk. Wis gelem tak repoti, wis gelem berjuang untuk rumah tanggamu. Titip arek-arek, ojo mbok tinggal, meski kowe sik urung oleh atine Gus An."

Terdengar isak tangis juga saat Bu Nyai mengatakan hal itu.

Sungguh kata-kata melasnya sangat melemahkan hati ini.

"Inggih, Bu Nyai. In Sha Allah," sahutku dengan suara tegas meyakinkan.

"Alhamdulillah," ucapnya lega.

Tidak terasa bulir air mataku kembali jatuh di pipiku.

Bu Nyai wanita yang begitu sabar merawatku, menjagaku, mendidikku, membersamai tumbuh kembangku hingga aku dewasa, sanggupkah aku melukai perasaannya.

Sungguh aku tak mampu menolak amanahnya untuk tetap menjaga anak-anak di rumah Gus An.

****

Hari ini telah berganti, setelah kejadian kemarin, aku berusaha menguatkan hati, lebih fokus kepada anak-anak ketimbang memikirkan rasa sakit hatiku pada Gus An.

Kujalankan hari-hariku seperti biasa, menjalankan tanggung jawab sebagai seorang ibu, menjalankan pengabdianku sebagai seorang isteri, meskipun aku tidak pernah dihargai.

Satu nasihat Bu Nyai yang selalu aku ingat, mungkin Gus An memang tidak memandangku, tapi Allah akan selalu melihat dan mencatat amal baikku.

Ya, kurelakan diri ini untuk mengabdi, kuihlaskan hati ini untuk tetap menjalani, bukan karena Gus An, tapi karena kewajibanku sebagai seorang ibu dan istri.

****

Entah kenapa mengabaikan sikap angkuh, dingin, dan sombong Gus An, membuat aku lebih ringan dalam menjalani kehidupan.

Tidak ada rasa kesal saat harus melayani sikap menyebalkan laki-laki itu, tidak ada rasa lelah saat harus menghabiskan waktu mendidik dan merawat anak-anak tiriku.

Dalam hati ini kuniatkan untuk ibadah, karena itulah yang membuat kakiku ringan melangkah.

***

Tidak terasa satu tahun lebih aku menjalani kehidupan ini.

Dan tidak ada yang berbeda dari hubungan pernikahanku dengan Gus An.

Aku masih istri sirinya, karena dia tidak pernah mencatatkan pernikahan kami di kantor urusan agama.

Yang berbeda hanyalah anak-anak yang bertumbuh besar.

Adiba sudah hampir umur 6 tahun, dan si kembar, sudah hampir berumur 3 tahun, sudah bisa berlari dengan cepat, dan berbicara dengan sangat lancar, bahkan sudah sekolah di kelompok bermain tempat Adiba mengenyam pendidikan.

Bersambung

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang