Bab 19 (Celoteh Adiba)

623 33 1
                                    

Adzan Isyak berkumandang, dan pembacaan tahlil untuk Mbah Uti telah selesai.

Saat ini aku duduk di ruang keluarga dengan mengangkat gawai yang sedari tadi bergetar.

"Fa, cepat pulang, anak-anak rewel!" kata seorang laki-laki yang saat itu meneleponku.

Begitu ringan dia mengatakan hal itu, tanpa berpikir bahwa saat ini aku masih berduka atas meninggalnya nenekku.

"Siapa yang telepon, Nduk?"

Bu Nyai yang masih ada di rumah, tiba-tiba duduk di sebelahku dengan bertanya.

"Gus An," sahutku dengan menoleh.

"Apa katanya?"

Bu Nyai terlihat kesal saat mendengar jawabanku.

"Anak-anak rewel, saya disuruh cepat pulang."

"Ooo ... pancene, nggak nduwe utek. Ummi pikir, setelah uangnya kamu kembalikan, dia akan segera ke sini untuk minta maaf. Ternyata sikapnya semakin menyebalkan. Wis, nggak usah pulang kalau bukan dia sendiri yang menjemput kamu!"

Bu Nyai tersulut emosi ketika mendengar jawabanku.

Belum sempat aku menjawab kata-kata Bu Nyai, Gus An kembali melakukan panggilan, kali ini melalui video call.

Dengan kasar Bu Nyai meraih gawai yang ada di tanganku dan segera menyentuh layarnya.

"Sini! Biar aku yang ngomong sama Anwar," kata Bu Nyai kesal.

Sepertinya Bu Nyai hendak marah kepada Gus An.

Setelah video call tersambung.

Bu Nyai membeku, wanita itu mengurungkan niatnya untuk mengumpat saat melihat gambar ketiga cucunya muncul di layar gawai.

Mereka bertiga menangis dengan memanggil-manggil namaku.

"Loh! Arek-arek nangis, Fa," ucap Bu Nyai lirih.

"Opo, sayang?"

Bu Nyai mulai menyapa ketiga cucunya.

"Bunda! Bunda!"

Dengan tangis yang dalam tiga bocah itu memanggil-manggilku.

"Iya, sebentar lagi bunda Fa, pulang," kata Bu Nyai lembut.

Perlahan Bu Nyai menyerahkan gawai itu padaku.

Aku pun mulai melakukan vidio call dengan ketiga anak Gus An.

"Bunda! Kapan Bunda pulang? Mau tidur sama Bunda!"

"Iya, sebentar lagi, bunda pulang," kataku dengan tersenyum.

Sungguh hatiku lemah saat melihat mereka menangis, bukan karena mengharap simpati Gus An, tapi karena rasa sayang yang telah tumbuh besar.

***

"Fa, biar Yusuf yang nganterin kamu pulang. Nggak usah kepikiran rumah ini! Ada ummi, ada anak-anak santri juga yang tak suruh nginep sini," kata Bu Nyai.

"Nopo Bu Nyai, mboten wangsul?" tanyaku. "Farzana ndak mau Bu Nyai kecapean."

Aku cukup sadar rumah Mbah Uti sangat sempit, akan sulit bagi Bu Nyai untuk beristirahat di rumah ini.

"Yo wis gampang, lawong rumah ummi juga dekat dari sini," kata Bu Nyai berusaha menepis kekhawatiranku.

Memang pesantren Al Hasan milik Bu Nyai Latifah jaraknya begitu dekat dari rumah, kurang lebih 400 meter saja.

"Awakmu, wis Ndang balik! Sakno arek-arek. Sepurane yo Nduk! Ummi sek panggah wae ngerepoti awakmu," kata Bu Nyai dengan menyentuh lenganku, menatapku penuh rasa bersalah.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang