Bab 86 (Berdebat)

749 63 11
                                    

Tangan kanan Gus An langsung meraih mangkuk bubur yang menyentuh bibirnya.

"Aku bisa makan sendiri," katanya dengan meletakkan mangkuk bubur di pangkuannya, lalu menyendok bubur tersebut dengan tangan kanannya yang tidak ditusuk jarum infus.

Sepertinya dia marah lagi padaku. Oh, laki-laki ini begitu sensitif.

Aku abaikan sikap kekanak-kanakannya, dengan membiarkan dia makan sendiri.

Dalam hitungan detik bubur itu telah habis.

Benar-benar kelaparan abinya si kembar ini.

Dengan hanya bergumam dia menyodorkan mangkuk kosong itu padaku. Aku pun langsung meraihnya. Namun saat aku hendak beranjak membawa mangkuk ke dapur dia langsung menghentikanku.

"Buka bajuku!" pintanya.

Aku yang saat itu hendak membalikkan badan spontan menoleh.

"Buka baju? Untuk apa?" tanyaku dengan mengangkat kedua alis.

"Dari kemarin aku belum ganti baju dan mandi. Apa kamu tidak mau, membantu menyeka tubuhku?"

"Oh ..."

Aku langsung membulatkan mulut.

"Kenapa? Kamu pikir aku laki-laki mesum yang ingin mengajakmu tidur," sahutnya dengan senyum mengejek.

"Siapa yang berpikir seperti itu?" bantahku.

"Hmmmmh!"

Gus An kembali menunjukkan senyum mengejek.

"Dulu saja, saat baru menikah, kamu sering menggodaku, bahkan sangat agresif, merayu agar aku mau tidur denganmu."

Kurang ajar sekali dia, berani mengingatkan hal konyol yang pernah aku lakukan saat itu.

"Aku melakukan semua itu, karena baktiku pada Bu Nyai, bukan karena bernafsu pada Gus An. Asal Gus tau! Saat ini, sekalipun Gus telanjang. Aku sama sekali tidak tertarik," sahutku kesal.

"O, iya?"

Laki-laki itu langsung mengangkat kepala menantangku.

Aku pun bergegas meletakkan mangkuk yang aku pegang di atas meja lampu tidur, lalu segera naik ke atas ranjang untuk membuka kancing bajunya.

"Lihat, akan aku buktikan kalau aku sama sekali tidak tertarik dengan tubuh Gus An!" kataku.

Laki-laki itu masih saja senyum-senyum sendiri melihat wajah kesalku.

Tapi aku berusaha tak acuh, dan terus membuka kancing baju serta kaos dalam yang dia pakai.

Sungguh aku tidak perduli dengan kulit putih bersih dan dada bidang yang aku lihat saat ini.

Aku juga tidak perduli dengan aroma parfum yang masih menempel ditubuhnya, meski dia bilang dari kemarin belum mandi.

Setelah itu aku beralih memegang sabuknya.

Sejenak aku memperhatikan sabuk dan celana laki-laki itu.

'Oh, mana mungkin aku membuka ... celana dalamnya?'

Sejujurnya pikiranku mulai kacau.

"Kenapa?" tanya Gus An saat aku menurunkan tanganku dari sabuknya.

Perlahan aku mengangkat kepala.

"Aku ..."

Entah kenapa mulutku jadi terbata.

Kulihat Gus An mulai mengangkat tangan kanannya dan mendekatkannya ke wajahku.

'Oh! Mau apa laki-laki berkulit putih bersih berdada bidang ini?' tanyaku dalam hati.

Sungguh jantungku berdegup kencang seketika, apalagi saat memperhatikan wajah bersihnya yang sedikit dihiasi jambang tipis, karena tidak dapat dimungkiri, meski usianya jauh lebih tua dariku, namun pesona maskulinnya ... Oh!

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang