Bab 43 (Gus yang menyebalkan)

768 43 4
                                    

Hampir dua jam kami bercengkrama di rumah Bu Nyai. Dari berbincang serius, bercanda, hingga makan malam bersama.

Kini saatnya kami berpamitan. Kiai dan Bu Nyai menghantarkan kami hingga ke halaman.

Adiba, Akbar, dan Arkan mulai naik ke dalam mobilnya bersama Ningsih dan Pak Jun.

Sementara aku masih tetap berdua di mobil bersama Gus An.

Mobil mulai melaju keluar dari halaman ndalem Bu Nyai Latifah, lalu keluar dari gerbang pesantren Al Hasan.

Sungguh rasanya pikiranku sangat tidak tenang. Sejujurnya aku merasa penasaran dengan kesungguhan ucapan Gus An yang ingin mendaftar pernikahan kami ke kantor urusan agama.

Dengan penuh ragu aku mulai bertanya di sela perjalanan pulang.

"Gus!" panggilku lirihku.

"Hmmm ..."

Gus An hanya menggumam, dan terus melajukan mobilnya.

"Gus, apa benar, Gus An akan mendaftarkan pernikahan kita ke KUA?" tanyaku dengan suara lembut penuh kehati-hatian.

Gus An perlahan menoleh, kali ini dengan tersenyum tipis.

"Kenapa?" tanyanya seraya kembali berkonsentrasi menyetir mobil.

"Kamu menunggu saat-saat ini, 'kan?"

Pertanyaan Gus An seolah-olah aku ini begitu mengharapkannya.

"Kamu senang aku akan mendaftarkan pernikahan siri kita ke KUA?"

Dia kembali bertanya, kali ini dengan senyum dan wajah sombong.

Sungguh, jika bukan karena masalah di kepolisian yang belum selesai, aku sudah pasti akan melemparkan tas jinjing baru pemberiannya ini ke wajah mulusnya.

Biar dia tahu bagaimana rasanya ditimpuk manik-manik yang terbuat dari mutiara ini.

Dengan perasaan kesal aku pun menjawab kata-katanya.

"Jujur, aku tidak perduli dengan arah pernikahan siri kita. Terserah, Gus An mau mendaftarkannya ke KUA atau tidak. Bahkan jika Gus An mau menikah dengan dokter cantik itu, aku juga tidak perduli," kataku dengan kemudian membuang muka."

"Oh, begitu? ... Jadi kamu sudah mempersiapkan diri untuk memiliki seorang madu," balasnya.

Spontan aku menoleh, sungguh aku tidak bisa jika tidak memperhatikan wajah menyebalkannya.

"Maksud Gus An?"

Aku mengangkat dagu.

"Kamu tetap jadi istri rahasiaku, dan aku menikahi dokter Ana secara resmi di KUA. Itu kan maumu?" tanyanya dengan tersenyum nakal.

"Baik. Jika itu yang kamu inginkan," tambahnya seraya kembali berkonsentrasi menyetir mobil.

'Kurang ajar!' batinku.

"Jika ingin menikah lagi. Silahkan talak aku dulu! Dengar ya, Gus! Sekali pun aku ini gadis miskin dan tidak cantik seperti dokter itu. Tapi aku tidak sudi dimadu!" tegasku.

"Hmmmh!"

Gus An hanya melirikku dengan tersenyum.

'Kurang ajar! Awas saja jika urusanku sudah selesai, aku pasti akan pergi dari rumahmu,' ujarku dalam hati seraya memalingkan muka.

Suasana di mobil berubah hening. Aku menoleh ke sisi kiriku memperhatikan tepian jalanan, karena sungguh aku muak melihat laki-laki yang berada di sisi kananku ini.

Selang beberapa menit mobil pun sampai di depan halaman rumah Gus An.

Saat mobil berhenti di depan teras aku bergegas membuka pintu.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang