Bab 87 (Geregetan)

752 73 11
                                    

Hari telah berganti. Pagi ini aku sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Gus An dan anak-anak.

"Nduk! Biar si Mbok. Pesannya Gus, kamu nggak boleh capek-capek," kata si Mbok saat aku sibuk mengaduk bubur, dan meracik bumbu ayam madu kesukaan Adiba.

"Apanya sih Mbok yang capek. Orang udah biasa masak," sahutku.

"Tapi sekarang beda, kamu itu sudah jadi ratu di rumah ini. Jadi cukup mengawasi si Mbok dan pembantu yang lain saja."

"Hmmh! Ratu opo sih, Mbok? Dengar ya, Mbok! Aku ini tetap Farzana yang dulu. Lagian masak untuk anak-anak dan suami, 'kan ibadah. Masa mau Mbok larang-larang. Dosa nanti loh!" sahutku menggoda si Mbok.

"Yo wis, sak karepmu," sahut si Mbok pasrah seraya meninggalkanku menuju wastafel menyelesaikan pekerjaannya mencuci beberapa perabotan yang kotor.

***

Beberapa saat kemudian aku mengantar air madu hangat dan bubur yang sudah matang ke kamar Gus An.

"Mbok, titip ayam maduku ya, aku mau nganterin sarapan dulu buat Gus," pesanku sebelum keluar dari dapur.

"Iya."

Kakiku mulai berayun menuju kamar Gus An, namun saat sampai di kamar alangkah terkejutnya aku ketika melihat Gus An sudah tidak berada di sana.

Tempat tidur telah tertata rapi, dan tiang infus juga sudah tidak ada di kamar itu.

"Gus!" seruku dengan mata menyelidik sekeliling ruangan yang tampak sepi.

"Gus!" seruku lagi.

"Mbak, Gus An ada di ruang kerjanya, baru saja saya merapikan kamar," terang Ningsih yang tengah melewati kamar kami.

"Iya, makasih Mbak," sahutku dengan menoleh seraya tersenyum pada wanita yang sejenak berdiri di muka pintu kamar itu.

Aku mengembuskan napas keras seraya berbalik, lalu melangkah keluar dari kamar dengan membawa kembali nampan berisi bubur dan air madu.

Kulihat saat hendak menutup pintu kamar, Gus An turun dari tangga lantai dua rumah dengan kemeja dan celana yang sudah rapi.

Tidak tampak juga selang infus yang tadi subuh masih tertusuk di punggung tangan kirinya.

"Kenapa sudah begitu rapi?" tanyaku saat pria itu mendekat.

"Aku ada rapat pagi ini, Fa," terangnya.

"Hmmmmh! Kenapa begitu gila harta, lebih memilih kerja meskipun sudah tahu tubuhnya butuh istirahat," cetusku seraya membuang muka.

"Bukan begitu Fa, ada tanggung jawab yang harus aku selesaikan. Lagi pula tadi asisten dokter Ali sudah memeriksaku, menyuntikkan obat dan vitamin juga," jelasnya dengan mengekor di belakangku.

"Terserah," sahutku tak acuh.

"Sayang! Jangan marah!"

Gus An terus mengikutiku, seraya melingkarkan kedua tangannya di pinggangku.

Langkahku pun langsung terhenti karenanya.

"Sayang! Jangan marah begitu! Aku punya tanggung jawab besar. Rapat di Baitul Mal ini, sudah aku tunda hampir tiga Minggu, karena aku banyak pekerjaan di tempat lain. Tolong, maafkan suamimu yang sibuk ini! Jika rapat ditunda lagi, banyak orang yang aku rugikan, bukankah itu dzalim," lanjutnya dengan suara lembut merayu.

"Sayang! Ayolah! Tunggu aku di rumah, setelah rapat selesai aku akan langsung pulang. Siapkan juga minyak aroma terapi untuk memijitku nanti," tambahnya.

Aku langsung berusaha melepaskan rangkulan Gus An.

"Kenapa harus aku yang memijit? Nanti biar aku panggilkan tukang urut saja," sahutku dengan melanjutkan langkah menuju meja makan.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang