Bab 63 (Sarapan pagi)

674 46 4
                                    

Kini aku sudah berada di dalam mobil.

Gus An mulai menarik perseneling dan melajukan mobilnya.

Tiga puluh menit kemudian mobil berbelok ke sebuah lahan parkir yang ada di lantai bawah tanah sebuah hotel berbintang.

Gus An membukakan pintu mobil untukku dan menggandengku masuk ke dalam sebuah restoran yang ada di dalam gedung tersebut.

Aku ingat, beberapa bulan lalu Gus An pernah mengajakku ke sebuah restoran yang ada di hotel berbintang, namun saat ini dia mengajakku ke restoran di hotel yang berbeda.

Sejujurnya ini pengalaman pertamaku masuk ke dalam hotel yang kabarnya hotel paling mahal di kotaku.

Aku dibawa naik lift hingga ke lantai tujuh.

Saat masuk ke dalam pintu restoran dua orang pramusaji menyambut kami berdua dengan ramah.

Di saat yang bersamaan kulihat pemandangan yang begitu indah, gedung-gedung menjulang menjadi hiasan yang begitu epik di balkon restoran.

Aku begitu takjub saat melihatnya. Tidak kusangka pagi ini Gus An mengajakku sarapan di restoran yang begitu mewah seperti di film-film dan drama.

Dengan mata terbelalak aku memperhatikan sekeliling isi restoran.

Kursi dan meja makan yang ditata begitu elegan. Bukan hanya itu, mataku juga tertuju pada hidangan di sebelah kanan pintu masuk, terdapat meja panjang yang menyuguhkan berbagai makanan pembuka dan penutup dengan konsep menu tradisional.

Aku yang baru melihat tatanan kue-kue cantik itu perlahan melepaskan tangan Gus An yang sedari tadi menggandengku.

Kuhampiri meja panjang berbentuk persegi panjang dengan taplak putih bersih itu.

Kuperhatikan satu persatu macam-macam kue tradisional yang diplating begitu cantik di meja.

Klepon warna-warni, kue lupis, kue lapis, cucur,  kue putu, dan masih banyak lagi.

Setelah puas memandang, aku berbalik menghampiri Gus An yang saat ini sudah terlihat berbincang akrab dengan seorang laki-laki berjas hitam di muka pintu restoran.

"Gus! Kalau makanannya dihias secantik itu, bagaimana aku tega untuk menikmatinya," kataku sembari menunjuk makanan yang tertata epik di meja.

Seorang laki-laki berjas hitam yang tengah berbincang dengan Gus An seketika menoleh ke arahku, matanya memperhatikan penampilanku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Mmmm .... siapa, Pak?" tanyanya dengan melirik ke arah Gus An.

"Oh, istri saya," sahut Gus An dengan senyum percaya diri, sembari menarik lenganku dan melingkarkan tangannya dengan erat di pinggangku.

"Oh ..."

Laki-laki itu terlihat tak percaya sembari mengangguk pelan.

Seketika aku menunduk.

Sikapku begitu kampungan, pasti sudah sangat membuat Gus An malu.

"In Sha Allah, secepatnya akan saya kirim undangan resepsi pernikahan kami," kata Gus An kemudian pada laki-laki itu.

"Siap, saya tunggu! Mari Pak, meja untuk bapak sudah kami siapkan."

Setelah menjawab laki-laki itu pun membimbing kami untuk menghampiri meja yang sudah Gus An pesan.

Sembari melangkah menghampiri meja Gus An masih saja melingkarkan tangannya di pinggangku.

Beberapa saat kemudian kami pun sampai di meja makan yang ada di balkon restoran.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang