Bab 42 (tajdidun nikah)

766 45 7
                                    

Kini kami sudah sampai di rumah Bu Nyai Latifah.

Keluarga besar itu menyambut kami dengan suka cita.

Adiba, Akbar, dan Arkan langsung di gendong oleh kerabatnya yang tinggal di rumah Bu Nyai.

Anak almarhum Ning Hil itu bergegas dibawa masuk ke dalam rumah dengan disuguhi segala makanan dan mainan yang ada di sana.

Sementara Gus An tampak meminta pak Jun dan Ningsih untuk mengeluarkan parcel dari dalam bagasi yang dia bawa sebagai buah tangan.

Ada 4 parcel yang kami bawa, dua parcel buah segar, dan dua parcel lagi paket suplemen kesehatan untuk Kiai yang baru saja keluar dari rumah sakit.

***

Saat ini kami sudah masuk ke dalam rumah Kiai Hasan.

Bu Nyai yang baru saja keluar dari dalam rumah tampak tersenyum renyah menyambutku.

"Assalamualaikum, Bu Nyai."

Aku bergegas mencium tangannya.

Bu nyai pun langsung memberikan pelukan kasih sayang padaku.

"Ya Allah, pantas tadi sore ada kupu-kupu yang masuk ke dalam rumah, ternyata mau kedatangan tamu, toh," ucapnya dengan menyentuh kedua pipiku.

"Ayune anak wedokku!" puji Bu Nyai dengan tersenyum lembut.

Kulihat setelah itu Gus An menyusul mencium tangan Bu Nyai.

"Ayo, duduk dulu!" kata Bu Nyai selepas memberikan tangannya pada Gus An.

"Kiai masih wiridan di kamar. Memang masih belum ummi izinin untuk ke masjid, soalnya kapan hari ke masjid pulangnya jatuh di depan gedung madrasah, katanya kepalanya tiba-tiba kliyengan," cerita Bu Nyai dengan membimbing kami duduk di sofa ruang tamu.

"Sakniki pripun kesehatane Abi, Mi?" tanya Gus An sesaat setelah meletakkan bokongnya di sofa panjang berbentuk setengah lingkaran.

"Wis mendingan," sahut Bu Nyai dengan tersenyum sembari dudu di sofa kecil berbentuk persegi yang ada di hadapan kami.

"An, minta maaf. Baru sempet menjenguk Abi hari ini."

Laki-laki yang sangat takzim pada mertuanya itu mulai minta maaf dengan suara lembut.

"Ndak papa. Ummi ngerti kamu memang repot," sahut Bu Nyai.

"Mbah Hanik! Wonten tamu, cepetan disuguhi teh, Nduk!"

Kudengar setelah itu Bu nyai menyeru santrinya yang menjadi abdi ndalem di kediamannya.

"Inggih."

Dengan sigap santriwati itu datang membawa tiga cangkir teh hangat dan dua piring kudapan untuk kami.

"Anak-anak Ning Hilya, di mana?" tanya Bu Nyai di sela santriwati itu meletakkan cangkir dan kudapan di atas meja.

"Main mobil-mobilan remote teng lebet Bu Nyai," jawab gadis itu.

"Oh. Ya, sudah. Jangan lupa, Mbak Ningsih dan anak-anak juga kamu buatkan minum," sahut Bu Nyai dengan menyentuh bahu santrinya lembut.

"Inggih."

Sesaat setelah santriwati itu keluar dari ruang tamu, Bu Nyai kembali memulai percakapan dengan kami.

"O, iya? Kok tumben Farzana cantik, An? Kamu belikan baju baru, toh?" tanyanya dengan tersenyum kecut seolah sengaja menyinggung Gus An.

"Soalnya, biasane dasteran, rupane kumus-kumus ngopeni anak-anakmu," tambah wanita itu dengan bergantian memperhatikan kami berdua.

Gus An tampak menunduk.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang