Bab 73 (Menjadi Office Girl)

420 39 0
                                    

Pagi menjelang, aku mulai melangkah meninggalkan kosan Mutia.

Sengaja aku berangkat lebih siang berharap tiba-tiba Gus An akan datang mencariku di tempat ini.

Namun ternyata tidak nampak juga batang hidungnya.

Entah kenapa meski sudah berkali-kali menasihati diri sendiri untuk tidak lagi mengharapkan Gus An, hati kecil ini masih saja tidak percaya dengan sikap jahatnya padaku.

Perlahan kupejamkan mata, menepis bayangan pria beranak tiga itu, lalu segera memasukkan gawaiku ke dalam tas, karena kulihat tidak ada satupun pesan atau panggilan masuk darinya.

'Ya Allah! Izinkan aku melupakannya!' doaku kemudian dalam hati seraya mempercepat langkah ini.

***

Di tengah perjalanan aku mulai menghentikan langkah.

Suasana hati yang sedikit kacau membuat aku melupakan barang-barang penting yang seharusnya aku bawa ke kantor pagi ini.

Flashdisk dan hard copy proposal yang tadi malam aku kerjakan, serta dompet berisi surat-surat penting tertinggal di kamar kos Mutia.

Bergegas aku menelepon gadis itu, dengan kemudian menunggunya di sebuah halte yang letaknya sekitar 500 meter dari kantor tempatku bekerja.

Aku duduk di halte menunggu Mutia dengan perasaan gelisah, sembari sesekali memeriksa arlojiku, dan di saat yang bersamaan tiba-tiba seorang laki-laki dengan gawai di telinganya duduk di sampingku.

Laki-laki itu berpenampilan sangat rapi.

Kemeja biru muda dengan dasi, serta celana hitam dan sepatu pantofel yang tampak mengkilat.

Kulihat dia begitu sibuk berbicara di dalam telepon.

Sesaat setelah mengakhiri percakapan, laki-laki itu menoleh ke arahku, memperhatikan arloji perak yang aku pakai serta cincin emas yang melingkar di jari manisku, harta karun pemberian Bu Nyai Latifah.

Perasaanku mulai tidak tenang. Aku bergegas melipat tanganku di depan dada, menyembunyikan perhiasan yang aku pakai.

Pikiranku mulai curiga, jangan-jangan laki-laki di sebelahku ini adalah tukang gendam.

Iya, penampilan rapinya ini, pasti hanya untuk menipu korban, dan hal seperti ini sering kali aku baca di surut kabar.

'Oh! Aku harus hati-hati!'

Beruntung sekali di tengah kecemasan tiba-tiba seorang pedagang asongan muncul di hadapanku.

Selain menawarkan cemilan, dia juga menawarkan nasi bungkus yang dibalut daun pisang di dalam keranjang yang dia jinjing.

"Nasi kucing cuma lima ribuan," katanya menawariku.

"Iya. Beli dua, Bu."

Aku tersenyum pada wanita paruh baya itu, seraya membuka tas yang ada di pangkuanku, namun seketika aku tersentak ketika mengingat dompet yang tertinggal di kosan.

"Maaf, Bu. Nggak jadi beli, dompetku ketinggalan," sahutku dengan suara lesu.

Kulihat ibu pedagang asongan langsung membuang muka kesal.

"Berapa, Bu?" tanya laki-laki di sebelahku.

"Lima ribuan," jawab wanita itu.

"Biar saya yang bayar," katanya.

"Berapa bungkus?"

"Tiga," sahutnya dengan menunjukkan tiga jari.

Wanita itu pun bergegas menjulurkan 3 bungkus nasi bungkus pada laki-laki berkemeja biru itu.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang