Bab 18 (Uang Santunan)

592 35 4
                                    

Kini prosesi pemakaman Mbah Uti telah selesai.

Aku mulai duduk di depan batu nisan, saat peziarah laki-laki yang mengebumikan Mbah Uti telah berhamburan pulang.

Air mata ini terus saja tumpah.

Dzikir, sholawat, dan kalimat-kalimat toyyibah terus keluar dari bibirku.

Ya Allah! Sangat perih. Aku tidak tahu bagaimana hidupku setelah ini. Tidak ada tempat untuk mengadu lagi, karena aku benar-benar telah sendiri.

"Fa! Ayo pulang, Nduk!"

Tangan Bu Nyai Latifah terasa menyentuh kedua lenganku.

"Ayo! Jangan menangis terus. Sakno Mbahmu. Kalau kamu Ndak ikhlas, Mbah, akan sedih di alam kubur sana," nasihat Bu Nyai.

"Ayo, pulang, Nduk! Kirimkan Fatihah dan doa untuk si Mbah setiap salat lima waktu," kata Bu Nyai lagi dengan membantuku berdiri.

"Wis! Diusap banyu motone, sakno si Mbah, kalau kamu sedih terus," kata Bu Nyai lagi dengan menyeka air mata ini.

"Ayo! Pulang!"

Bu Nyai membimbingku keluar dari lokasi pemakaman.

****

Kini aku sudah berada di rumah Mbah Uti.

Banyak kerabat, tetangga, dan teman Mbah Uti yang datang untuk menyampaikan bela sungkawa.

Dalam suasana duka, aku tetap menemui mereka semua.

"Nduk! Gus An tau kalau Mbah Uti sudah meninggal?" tanya Bu Nyai di sela menemani tamu.

"Belum," sahutku lirihku.

"Ya wis, sana kamu kabari," kata Bu Nyai.

"Nggih."

Aku yang semula duduk di hamparan karpet ruang tamu rumah Mbah Uti bergegas bangkit.

Aku keluar sejenak di teras untuk menelepon Gus An.

Hampir tiga menit aku menunggu, namun Gus An tidak segera mengangkat teleponku, hingga lima belas menit kemudian, laki-laki itu mengangkatnya.

"Assalamualaikum."

Kudengar Gus An berucap salam.

"Waalaikum salam," sahutku lirih.

"Ada apa, Fa?" tanya Gus An.

"Gus. Mbah Utiku meninggal."

"Inna lilahi wa Inna ilaihi raji'un," sahut Gus An.

"Turut berduka cita, Fa. Sebentar lagi akan aku suruh orang untuk mengirim karangan bunga, dan uang santunan kematian untuk Mbah Rumiati."

Aku tersentak dengan kalimat yang diucapkan Gus An.

"Maaf, aku tidak bisa mengantar sendiri. Aku sibuk," katanya lagi.

Entah kenapa air mataku langsung berlinang saat mendengar kalimat itu.

Gus An, bukan hanya tidak perduli padaku, tapi juga pada keluargaku.

Apa salahku, hingga tidak ada sedikitpun rasa simpati di hatinya untukku.

Tiba-tiba aku menangis sesenggukan.

"Ono opo, Nduk?"

Bu Nyai Latifah yang mendengar tangisku seketika menghampiri.

Aku pun bergegas menyeka air mata yang semakin tumpah ini, lalu kemudian menoleh.

"Gus An, nggak bisa dihubungi ta, Nduk?" tanya Bu Nyai.

"Saget," sahutku.

"Terus? ... Dia mau langsung ke sini?"

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang