Bab 2 (Acuh)

1K 31 0
                                    

Malam ini, selepas menidurkan Akbar dan Arkan, aku mulai membacakan cerita untuk Adiba.

Gadis kecil itu sudah menungguku di tempat tidur berukuran 2x2 meter yang ada sisi kanan keranjang tidur adiknya.

Setelah lima belas menit membacakan cerita, Adiba mulai tertidur, dan Gus An tiba-tiba masuk ke dalam kamar.

Laki-laki itu terlihat melonggarkan dasinya lalu duduk menyandarkan punggungnya di sofa.

Selama 40 hari tinggal di sini, ini adalah pertama kali Gus An beristirahat di kamar.

Iya, ini adalah kamar Ning Hil dan Gus An. Yang beberapa hari ditempati oleh ibu mertua dan putra putrinya selama menunggu peringatan hari ke 40 meninggalnya Ning Hilya.

Aku tercengang saat melihat Gus An tiba-tiba masuk ke dalam kamar, karena biasanya dia istirahat di ruangan yang ada di sisi kanan kamar ini.

Kemeja panjang yang ditekuk hingga ke siku, kepala yang dipijit-pijit oleh jarinya dengan mata terpejam, membuat naluriku sebagai seorang istri ingin memanjakan.

Aku akui perbedaan usia kami memang terpaut jauh, aku yang masih 18 tahun, dan Gus An yang sudah 32 tahun.

Namun tidak dimungkiri jika pesona Gus An teramat memukau.

Gus An, laki-laki yang terlihat lebih muda dari usianya. Kulit putih bersih, rambut hitam tebal, sedikit ada jambang, dan senyum manis yang menyejukkan jika mata memandang.

Lalu bagaimana aku tidak terpikat oleh ketampanannya.

Aku mulai turun dari ranjang, keluar dari kamar yang pintunya tidak ditutup rapat oleh Gus An.

Kubuatkan laki-laki itu kopi hitam, dan ini adalah kopi hitam pertama kali yang kuracik untuknya.

Dengan langkah pelan aku kembali ke dalam kamar, menyuguhkan kopi hitam itu.

Aroma tubuh Gus An, tidak sengaja terendus, masih tercium wangi parfum yang kuat, padahal laki-laki itu tampak berkeringat.

"Gus, ini kopinya!" lirihku dengan meletakkan kopi itu di meja sofa.

Gus An spontan membelalakkan mata. Melirik kopi hitam yang kusuguhkan.

Perlahan dia bangkit.

"Aku tidak minum kopi," ucapkan tanpa melihatku.

"Oooh ...."

Seketika aku melongo.

Laki-laki itu dengan acuh meninggalkanku, melangkah menuju kamar mandi yang ada di sudut ruangan.

"Apa perlu aku ambilkan air putih untuk minum, Gus? Mungkin air hangat, atau air dingin?" tanyaku dengan mengekor di belakangnya.

Dia menoleh dengan melirikku sinis, lalu kemudian membalikkan badan dan langsung masuk ke dalam kamar mandi.

Brak!

Aku tersentak saat melihat dia menutup pintu dengan keras.

Sungguh pria tak beretika. Meski dia tampan ingin sekali aku mencakar wajahnya.

Aku bergegas berbalik untuk keluar dari kamar.

Ceklek!

Belum sampai langkahku ke muka pintu, tiba-tiba Gus An membuka pintu kamar mandi.

Aku pun menoleh.

"Aku tidur di luar Gus. Kalau anak-anak rewel, Gus bisa membangunkan aku," pamitku padanya.

"Tidur di sofa saja! Biar aku tidak perlu repot keluar untuk membangunkanmu," katanya dengan menunjuk sofa yang tadi dia duduki.

"Inggih."

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang