Bab 92 (Ucapan Ibu Gus An)

687 55 5
                                    

Kini wanita itu sudah berada di rumah Gus An.

Gus An mulai mendorong kursi rodanya menuju ke dalam kamar yang sudah disiapkan oleh si Mbok.

Sementara aku menyiapkan bubur dan obat yang hendak dia minum.

"Mbok, aku anterin bubur ke kamar mamanya Gus dulu ya!"

"Iya Nduk," sahut si mbok yang tengah menemaniku di dapur.

Dengan membawa nampan aku bergegas menuju kamar wanita itu.

Saat hendak mendorong pintu kamar yang tidak tertutup rapat, kudengar dia tengah bercakap-cakap dengan putranya.

"Apa benar yang dikatakan Tante Shofi, kamu sangat mencintai gadis itu?"

"Iya, Ma. Yang dikatakan Tante Shofi benar."

Aku mengintip dari pintu yang tidak tertutup rapat, Gus An duduk dibibir ranjang menemani ibunya dengan menyentuh lembut tangan wanita itu.

"Bagaimana gadis itu bisa begitu memikat hatimu?"

"Karena dia begitu tulus mencintai anak-anakku," sahut Gus An dengan suara yang masih lembut.

"Bukankan seorang Abdi Ndalem yang setia sangatlah wajar jika tulus mencintai anak majikannya."

Wanita itu menatap mata Gus An dingin.

"Pada kenyataannya aku sudah menikahi Farzana. Dan dia bukanlah Abdi Ndalem lagi."

"Kamu pernah begitu membencinya, karena dia bukanlah gadis yang pantas untukmu."

"Itu sebelum Anwar mengetahui begitu tulus hatinya, Ma."

"Mungkinkah kamu hanya bersimpati karena ingin membalas Budi, Nak?" tanya wanita itu penuh harap.

"Ma! Aku sungguh-sungguh mencintai Farzana. Allah sudah membalikkan hatiku," sahut Gus An dengan menatap nanar mata ibunya.

"Kenapa kamu bisa tiba-tiba mencintainya?"

"Mungkin karena dia adalah gadis yang selalu ada dalam doaku," sahut Gus An.

"Bukan gadis pintar cantik dan kaya, yang selalu Anwar sebut dalam doa, melainkan gadis salihah yang tulus mencintai anak-anak lebih dari Hilya," tambah Gus An.

"Ma! Anwar mohon, terima Farzana, kenali dia dengan baik, karena Anwar tidak bisa hidup tanpa dia!" pinta Gus An lembut.

Entah kenapa ungkapan Gus An begitu menyentuh hatiku.

Aku membeku dengan air mata yang sedikit menetes di pipi.

Setelah mengatur napas dan emosi, aku bergegas mengetuk pintu kamar itu.

"Masuk!"

Suara Gus An lantang terdengar.

Aku pun segera mendorong pintu.

Dengan melebarkan senyuman aku melangkah mendekat ke arah Gus An dan ibunya.

"Waktunya minum obat," kataku.

Segera aku meletakkan nampan di meja yang ada di sisi tempat tidur.

Kuangkat satu mangkuk bubur, dan kujulurkan pada wanita itu.

"Farzana suapi ya, Ma!"

Aku tersenyum dengan menawarkan diri membantu wanita itu makan.

Wanita itu langsung menatapku dingin kemudian meraih mangkuk bubur dari tanganku.

Seketika aku menunduk gugup, sepertinya dia tidak berkenan kupanggil mama.

"Maaf, Bu!" kataku lembut.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang