Bab 35 (Dijemput Gus An)

779 49 4
                                    

Aku bergegas mengajak Mutia untuk keluar dari rumah sakit itu, ketika Randy dan kak Aldo keluar dari kamar rawat inap.

Aku menarik paksa jarum infus yang menusuk punggung tangan.

Rasanya sakit, tapi aku abaikan, karena aku ingin segera keluar dari rumah sakit dan tidak lagi berurusan dengan mereka.

Beruntung aksiku berjalan lancar. Aku bisa keluar dari rumah sakit tanpa ada yang mencurigai.

Dan aku bisa kembali ke tempat kos dengan selamat.

****

Tidak terasa pagi kembali menjelang.

Aku mulai melakukan rutinitasku, berangkat ke kampus bersama Mutia.

Sebenarnya aku masih sangat khawatir, kalau-kalau ada pancar Randy yang kembali menyerangku.

Tapi Mutia memberiku semangat, dia juga meyakinkan, kalau semua akan baik-baik saja.

"Fa! Nggak perlu khawatir, nggak perlu takut! Aku bakal nemeni kamu terus di kampus. Dan ingat, jika kamu nggak lagi bareng aku. Kamu harus berjalan di tengah keramaian. Biar jika ada orang yang mau mengintimidasi, kamu bisa teriak," nasihat Mutia.

Aku pun berusaha menepis rasa takut itu, dan berusaha melangkah dengan optimis.

Aku punya impian, tidak kubiarkan rasa cemas yang belum tentu menjadi nyata membelenggu pikiranku.

Dan lagi, aku punya Allah sebaik-baik pelindung.

Akhirnya ditemani Mutia, aku melangkah menuju kampus dengan semangat dan senyum bahagia.

Ada mimpi yang hendak aku bangun.

Lulus menjadi sarjana hukum, mengamalkan ilmu, kemudian mendapatkan pekerjaan yang bagus.

***

Saat ini aku sudah sampai di halaman kampus, seseorang tiba-tiba menyentuh pundakku.

Aku menoleh dengan menatap laki-laki jangkung yang sudah berdiri di belakangku.

"Kenapa kamu keluar dari rumah sakit tidak bilang-bilang?" tanyanya.

"Kamu membuat aku cemas," lanjutnya dengan menatapku dalam.

Aku membalasnya dengan tersenyum ragu.

"Fa!"

Kudengar kemudian dari arah yang berlawanan kak Aldo memanggil.

Aku pun menoleh.

Kak Aldo berlari kecil mendekat ke arahku.

"Aku bawa sarapan buat kamu. Ayo makan dulu!"

Kak Aldo menjulurkan kotak makan yang baru saja dia keluarkan dari dalam tas punggungnya.

"Aku tahu kamu pasti belum sempat sarapan. Jangan sampai kamu tidak punya energi jika ada orang yang mengganggumu," lanjutnya.

"Aku juga bawa sarapan buat kamu."

Mahasiswa jangkung itu juga mengeluarkan kotak makan dari dalam tasnya.

"Ini yang masak mamaku. Saat menumis bumbu, daging, dan sayur, menggunakan minyak zaitun. Jadi sangat bagus untuk kesehatan," katanya meyakinkan.

"Kamu makan bekal dariku saja, karena ini jauh lebih sehat," saran mahasiswa jangkung bernama Randy itu.

Aku pun tersenyum kecil kemudian meraih kotak makan yang mereka berdua julurkan.

"Terima kasih banyak. Aku memang belum sarapan," kataku sembari melangkah menuju taman kampus yang letaknya sekitar lima meter di sisi kiri tempatku berdiri.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang