Bab 47 (Kamar baru untuk Farzana)

719 47 8
                                    

Dengan langkah tergesa Gus An keluar dari lift, dan dengan sigap aku mengekor di belakangnya.

Begitu juga dengan kak Aldo, mahasiswa sastra itu terus mengikuti Gus An.

"Mmmm ... bagaimana Om, apa boleh saya mendekati Farzana?" tanya kak Aldo lagi.

Sepertinya mahasiswa berkulit putih bersih itu tidak putus asa, sekali pun Gus An begitu angkuh dan tak acuh dia terus saja mengikuti laki-laki beranak tiga itu.

Hingga di samping mobil mewah yang terparkir di halaman, Gus An menghentikan langkah.

"Masuk mobil, Fa!" perintahnya saat seorang asisten membukakan pintu mobil untukku.

Aku pun bergegas masuk, kemudian menoleh ke arah Gus An.

Laki-laki yang tampak merapikan kancing jasnya itu perlahan menoleh ke arah Kak Aldo yang terus membuntuti.

"Aku sibuk. Lain kali kita bicara lagi," kata Gus An seraya bergegas masuk ke dalam mobil, mengabaikan Kak Aldo yang sedari tadi menunggu jawaban darinya.

***

Saat ini laki-laki itu sudah duduk di sebelahku.

Brak!

Setelah pintu ditutup, seorang asisten segera naik menyusul kami. Asisten itu duduk di sebelah sopir.

Aku mulai memandangi sekeliling, kali ini Gus An menjemputku dengan mobil mewah Alphard nya, beserta sopir pribadi kantor dan asistennya.

"Pak! Ini file yang harus dipelajari sebelum rapat," kata asisten laki-laki itu dengan menoleh sembari menjulurkan sebuah map pada Gus An.

Gus An pun bergegas menerima, lalu membuka dan mempelajari isi map tersebut.

"O, iya. Pak. Kita langsung ke lokasi rapat atau ke rumah bapak dulu untuk mengantarkan Mbak Farzana?" tanya asisten dengan sopan.

"Ke rumah dulu," jawab Gus An singkat sembari menyerahkan kembali map yang dia pegang kepada asistennya.

Mobil terus melaju, hingga dua puluh menit kemudian mobil sampai.

Dengan sigap asisten Gus An membukakan pintu mobil untukku.

Aku bergegas keluar dengan sebelumnya berpamitan pada Gus An.

"Aku masuk dulu Gus, terima kasih," kataku pada laki-laki yang wajahnya selalu serius jika berada di dekatku itu.

Gus An hanya melirikku tanpa menjawab.

Ah! Dasar laki-laki aneh.

Aku abaikan sikapnya dan bergegas naik ke teras rumah.

Saat hendak membuka pintu, kurasakan gawai di dalam tasku berdering.

Aku pun segera meraih gawai itu.

Saat menyentuh layar gawai, kulihat Gus An yang mengirim pesan.

(Hari ini aku sibuk, Fa. Mungkin aku pulang hingga larut malam. Tetaplah berada di rumah, dan jangan keluar tanpa seizinku)

Aku menoleh ke arah mobil mewah yang hendak keluar dari gerbang rumah itu.

Bisa-bisanya Gus An memberi ultimatum aneh seperti ini. Memangnya selama ini aku pernah meninggalkan rumahnya tanpa izin.

Iya, aku memang pernah meninggalkan rumahnya. Itu karena dia begitu menyebalkan. Dan sekarang mana mungkin aku bisa pergi, dia saja sudah memenjarakan aku dengan perjanjian hutang.

Tapi, ah, jujur aku suka dengan sikapnya yang seolah takut kehilanganku seperti ini.

Namun, tidak! Tidak! Aku tidak boleh terlalu terbawa rasa. Bisa jadi dia bersikap seperti ini hanya karena sebuah harga diri, agar aku tetap tunduk padanya.

****

Aku mulai membuka pintu rumah dan melangkah menuju kamar.

Saat sampai di depan kamar kulihat ada lebih dari 7 orang laki-laki berada dalam kamar itu, dan kondisi kamar pun terlihat berantakan.

"Nduk, sudah datang?"

terdengar suara Mbok Siti yang baru muncul dari pintu ruang tengah bertanya.

"Ada apa ini, Mbok?" tanyaku penasaran.

"Ini, loh, Nduk. Gus An mengganti semua perabotan kamar dan merenovasinya, karena kata Gus, anak-anak sudah mulai besar dan harus tidur di kamar mereka sendiri. Karena itu Beliau memanggil tukang-tukang ini," terang Mbok Siti.

"Oooh ..."

"Nanti Gus sama Nduk Fa, tidur di kamar yang ini."

Si Mbok menunjuk kamar yang biasa aku dan anak-anak tempati.

"Di sebelah sini kamar Adiba."

Mbok menunjuk kamar yang ada disebelah kamarku.

"Dan kamar tamu yang ada di dekat musholla, sekarang menjadi kamar si kembar," terang Mbok lagi.

"Semuanya sudah di cat ulang, tinggal perabotannya yang belum dimasukkan, In Sha Allah, nanti sebelum magrib semua sudah selesai," tambah si mbok.

"Kata Gus, kalau Nduk Farzana mau istirahat, untuk sementara bisa istirahat di ruang kerja Gus dulu, di lantai dua, sampai kamar yang direnovasi siap."

Aku tersentak mendengar ucapan si Mbok.

"Memang Gus An bilang begitu, Mbok?"

"Iya, Nduk. Sepertinya, Gus sudah mulai suka sama kamu, buktinya dia sudah ingat tidur di kamar berdua saja sama kamu," sahut si Mbok dengan senyum menggodaku, lalu tangannya perlahan mengapit lenganku.

Aku tersenyum ragu, jujur aku tidak ingin terlalu terbawa rasa, karena bisa jadi Gus An melakukan semua ini bukan untuk diriku.

Bukankah dia akan menikah dengan dokter cantik itu. Iya, mungkin renovasi kamar ini adalah persiapannya untuk menikahi wanita itu.

"O, iya, Mbok, anak-anak ada di mana sekarang?" tanyaku kemudian.

"Istirahat di paviliun sama Ningsih," sahut si Mbok.

"Kamu istirahat di ruang kerja Gus saja. Ayo, mbok antar!" kata si Mbok dengan membimbing langkahku naik ke lantai dua rumah.

"Nduk, tadi mbok juga dengar loh. Gus bilang begini sama asistennya; Tolong setelah urusanku di luar kota selesai, kamu siapkan berkas-berkas pernikahanku yang akan aku bawa ke KUA," cerita si Mbok.

"Sepertinya Gus akan segera meresmikan pernikahan kalian. Ma Sha Allah, mbok jadi seneng," ucap si Mbok penuh syukur.

"Masak sih, Mbok?" tanyaku tak percaya.

"Iya, Nduk. Gus, sepertinya sudah mulai jatuh cinta sama kamu. Tahu nggak waktu kamu keluar dari rumah dulu. Gus kayak orang stress, kayak orang gila, sampai-sampai dia nyubit Arkan, karena Arkan nggak mau disuruh pura-pura nangis saat kamu ditelepon Ningsih. Akhirnya Arkan nangis beneran, karena dicubit terlalu keras."

"Oh!"

Aku meringis dengan menoleh ke arah si Mbok.

"Bukan hanya itu. Gus juga nggak enak makan, dia juga marah-marah sepanjang hari. Mbok disuruh telepon kamu terus."

"Masak sih, Mbok?"

"Iya, Nduk. Mbok sampai pusing. Sampai-sampai sopir dan asistennya yang antar jemput Gus juga sambat, katanya, Gus marah-marah terus saat di kantor."

"Oh! Gitu."

"Kayaknya, Gus sudah nggak bisa hidup tanpa kamu, Nduk."

"Ah! Mbok bisa saja," sahutku dengan tersenyum.

Jujur aku enggan memikirkan semua itu, karena terlalu percaya diri menganggap Gus An jatuh cinta padaku bisa membuatku patah hati.

Bayangkan jika ternyata hati Gus An hanya untuk dokter cantik itu.

Bisa-bisa benar-benar runtuh duniaku.

Jadi, sudah! Aku tidak boleh terbawa rasa dengan semua yang Gus An lakukan.

Bersambung

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang