Bab 62 (Sikap Gus An)

609 48 11
                                    

Aku mulai berbaring di ranjang, lalu menutupkan selimut bulu ke tubuhku.

Hati ini masih terasa gundah, hingga membuatku sulit untuk memejamkan mata.

Aku yang semula tidur dengan posisi membelakangi tempat duduk Gus An, perlahan membalikan badan. Dengan pura-pura memejamkan mata, aku memperhatikan laki-laki yang terlihat sibuk dengan gawainya itu.

Handphone di genggam tangan kiri menempel di telinga, sementara sorot mata dan jari-jemari tangan kanan fokus dengan laptop di hadapannya.

Memperhatikan pria itu, membuatku semakin tidak bisa terlelap, sekalipun sudah menutup mata erat-erat.

Tidak terasa jam dinding yang menempel di atas pintu kamar kami sudah menunjukkan pukul 12.00 malam.

Dan terlihat Gus An baru saja menutup laptopnya.

Sembari meregangkan tangan laki-laki itu melangkah menghampiri tempat tidur kami.

Perlahan kakinya naik ke atas ranjang.

Dengan lembut dia merapikan selimutku yang sedikit tersibak, seraya mengusap pelan kepalaku yang tertutup jilbab tipis berbahan kaos.

Sesaat setelah itu dia merebahkan tubuhnya di sampingku dengan kemudian meraih gawai yang dia simpan di saku piyama.

Kudengar laki-laki itu mulai bicara dengan seseorang di telepon.

"Pak Hadi, tolong mundurkan jadwal keberangkatanku dua jam ke belakang," katanya.

"Tiket pesawat sudah dipesan Pak. Jadi tidak bisa jika jadwal dimundurkan."

Aku mendengar jawaban lirih dari gawai yang menempel di telinga Gus An.

"Tidak apa-apa. Nanti kita pesan tiket ulang. Tolong Pak Hadi atur semuanya."

"Baik, Pak."

"Terima kasih banyak."

Sesaat setelah menutup telepon laki-laki itu meletakkan gawainya di meja lampu tidur.

Kemudian kulihat dia menoleh ke arahku, bibirnya mendekat dengan perlahan menyentuh lembut keningku.

Aku tersentak, namum tetap pura-pura tertidur lelap.

Tidak kusangka setelah sikap menyebalkan dan konyol yang aku tunjukkan tadi, dia tetap bersikap hangat padaku.

Bahkan jauh dari keegoisan yang semula sering aku rasakan.

Setelah itu dia kembali membenarkan posisi kepalanya tidur nyaman di atas bantal, lalu memejamkan mata, dan tak lama terdengar dengkuran yang begitu memekakkan telinga.

Sepertinya dia benar-benar kelelahan.

Aku yang melihat tidur lelapnya, perlahan bangkit, menatapnya sejenak, lalu membagi selimut lebarku dengannya.

Kemudian aku kembali berbaring dengan melingkarkan tanganku di dadanya.

****

Tidak terasa pagi telah menjelang. Sepertinya aku terlambat bangun, karena saat terjaga Gus An sudah mengenakan baju rapi, kemeja, setelah jas dan celana, serta kaos kaki yang sudah membungkus kaki.

Bergegas aku bangkit dari tempat tidur.

"Sudah bangun, Fa?"

Gus An yang tengah merapikan dasinya di depan meja rias perlahan menoleh ke arahku.

"Maaf, aku terlambat bangun Gus," ucapku sedikit gugup.

"Tidak apa-apa. Kamu sedang libur tidak salat 'kan," sahutnya seraya melangkah menghampiriku.

Lalu duduk di tepi ranjang dengan melemparkan senyum hangat padaku.

"Aku belum menyiapkan sarapan buat anak-anak," kataku seraya membuka selimut yang masih menutupi kakiku dan segera turun dari ranjang.

"Fa! Untuk hari ini biar si Mbok dan Ningsih yang mengurus anak-anak," kata Gus An menahan langkahku.

"Begitu banyak pembantu di rumah ini, jadi semua pekerjaan tidak harus kamu yang mengerjakan," tambahnya.

"Aku sudah menyiapkan baju ganti untukmu. Cepat mandi! Hari ini, kita sarapan di luar," katanya dengan tersenyum, lalu beranjak menuju sofa.

Aku sedikit terpaku, apalagi saat melihat baju dan handuk yang sudah Gus An siapkan di atas kursi meja rias.

"Ayo cepat mandi!" pinta laki-laki yang baru saja duduk di sofa dengan tangan hendak membuka laptop itu.

Aku pun membalas ucapannya dengan tersenyum ragu.

'Gus, kenapa kamu menjadi begitu baik padaku? Mungkinkah semua  kalimat yang diucapkan Mutia tentangmu itu keliru?'

Aku menatap Gus An tak berkedip, dengan menahan genangan air di kelopak mataku karena rasa haru.

"Ayo! Segera mandi!" pinta Gus An lagi dengan kembali melempar senyum.

"Iya."

Aku menganggu seraya bergegas bangkit dari tempat tidur empuk itu.

"Gus, bukankah seharusnya Gus An sudah berangkat?" tanyaku sebelum melanjutkan langkah menuju kamar mandi.

"Pesawatku telat dua jam. Jadi sembari menunggu, aku ingin mengajakmu sarapan di luar," sahutnya dengan masih tersenyum lembut padaku.

Aku pun segera berbalik meninggalkannya dan masuk ke dalam kamar mandi.

Gus An, ternyata semalam menggagalkan keberangkatan hanya untuk sarapan pagi denganku.

'Oh! Gus! Apa prasangkaku terhadapmu keliru?'

*****

Saat keluar dari kamar mandi aku melihat Gus An sudah tidak ada di tempatnya.

Aku bergegas mengenakan pakaian, lalu sedikit berdandan, kemudian segera keluar dari kamar untuk mencari Gus An, karena aku tidak ingin laki-laki itu menungguku terlalu lama.

Sesaat setelah menutup pintu, sayup kudengar suara Gus An tengah berbincang dengan si Mbok di ruang makan.

Aku pun mulai melangkah menuju meja makan, kudengar dari balik tirai Gus An sedang berpesan sesuatu pada si Mbok.

"Mbok, aku perginya lumayan lama. Tolong titip Farzana dan anak-anak ya," katanya pada si Mbok.

"Sebentar lagi Farzana ujian akhir, jadi tolong jangan biarkan dia mengurus pekerjaan rumah, ingatkan agar dia selalu menjaga kesehatan, jangan sampai kelelahan saat mengurus anak-anak," pesan Gus An lagi.

"Inggih, Gus. Siap," jawab si Mbok dengan mengangguk sigap meyakinkan Gus An.

"Makasih ya, Mbok," sahut Gus An.

Aku bergegas berbalik untuk kembali ke kamar, karena jujur aku tidak ingin Gus An melihat keberadaanku di balik tirai saat ini.

Rasanya benar-benar seperti mimpi. Tidak pernak kusangka sebelumnya kalau Gus An akan begitu baik dan perhatian padaku.

'Ya Allah! Mungkinkah yang kudengar tadi nyata? Bukan mimpi?'

Sembari berbisik dalam hati aku menepuk-nepuk pipiku.

"Fa!" seru Gus An saat aku hendak membuka pintu kamar.

Dengan gugup aku pun menoleh ke arah laki-laki yang terlihat melangkah dari arah ruang makan itu.

"Ya, Gus," sahutku sedikit tegang.

"Mmmm .... tasku ketinggalan di dalam," lanjutku berusaha mencari alasan untuk menghindari tatapannya, karena jujur saat ini aku sangat gugup melihatnya semakin mendekat ke arahku.

"Ya, sudah, kalau begitu aku tunggu di mobil."

Beruntung setelah menjawab kata-kataku Gus An membelokkan langkahnya menuju ruang tamu untuk keluar dari rumah.

Aku mulai menyentuh dada, bernapas lega dengan kemudian bergegas masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas kuliahku yang memang belum aku bawa.

Bersambung

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang