Bab 29 (Kembali minta talak)

803 39 2
                                    

"Ada apa ini?"

Terdengar tanya dari kakak senior yang baru saja masuk ruangan itu.

Aku mendongak.

Ternyata Kak Aldo yang baru saja masuk ruangan.

Seorang senior perempuan menarik lengan Kak Aldo dan berbisik padanya.

Tampak setelah itu wajah Kak Aldo berubah merah.

"Keterlaluan banget sih, kamu, Ran!"

Tiba-tiba Kak Aldo menunjuk wajah mahasiswa jangkung itu.

Keduanya tampak berdebat.

Aku yang tidak ingin perduli dengan urusan mereka, mulai bangkit dari kursi mengikuti mahasiswa lain, karena baru saja salah satu kakak senior sudah menutup acara, dan meminta kami semua untuk meninggalkan ruangan.

Aku berjalan cepat keluar dari gedung kampus.

Rasanya sangat lega setelah mengklarifikasi tuduhkan mahasiswa jangkung itu terhadapku.

Entah terlalu berlebihan atau tidak, tapi yang pasti itulah kenyataan diriku.

Aku bukan gadis kaya, bukan gadis manja, bukan cewek yang malam-malam kelabing, ke karaoke, seperti yang dia tuduhkan.

*****

Hari terus berganti, kina tiba saat penutupan orientasi mahasiswa baru di kampusku.

Berbagai acara di gelar, termasuk pentas seni yang diisi oleh teman-teman Maba berbakat dan kakak-kakak senior.

Di akhir acara sebuah group band tampil. Tidak kusangka ternyata Kak Aldo yang jadi vokalisnya.

Aku tercengang, ternyata selain tampan, Kak Aldo juga bersuara emas.

Ah! Dia membuat semua penonton bersorak riang, dan menjerit histeris.

Termasuk aku. Aku pun bersorak, menjerit, dan melompat-lompat kegirangan, hingga tidak terasa sepatuku menginjak kaki seseorang.

Aku tersentak, dengan kemudian menoleh ke arah seseorang itu.

"Maaf!" kataku dengan mengatupkan tangan.

Ternyata kaki yang aku injak adalah kaki kakak senior jangkung.

Oh! Dia menatapku geram. Sepertinya dia masih sangat tidak menyukaiku.

Aku mengalihkan pandangan setelah minta maaf padanya.

"Dasar! Seperti tidak pernah melihat group band saja," ejeknya lirih.

Seketika aku menoleh.

Kulihat dia juga melirikku sinis.

"Aku memang tidak pernah melihat group band," sahutku sinis.

Laki-laki itu mengembuskan napas keras, kemudian membuang muka.

"Kampungan," ejeknya lagi

"Aku memang orang kampung," sahutku dengan suara lantang.

Dia seketika menoleh.

"Kenapa? Mau bilang aku gadis miskin? ... Iya. Aku memang gadis miskin," kataku lagi seraya berbalik meninggalkannya.

"Heh!"

Dia spontan memanggilku.

Aku menoleh sejenak.

Kulihat wajahnya semakin geram dengan tangan mengepal.

Aku kembali berbalik, meninggalkannya dengan tak acuh, melanjutkan langkahku menerobos keramaian di lapangan.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang