Bab 57 (Kepergok Si Mbok)

813 53 5
                                    

Gus An mulai berdiri di hadapanku meraih pisau yang ada di tanganku.

"Biar aku bantu memotong sayur," katanya dengan tersenyum lembut.

Lagi-lagi pikiranku tentangnya tidak benar. Dia sama sekali tidak menggendongku dan memaksaku melayaninya di dalam kamar.

Sungguh sikap laki-laki ini memang sangat sulit ditebak.

"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Gus An penasaran saat mataku ini tidak berhenti memperhatikannya.

Aku meringis seraya mengalihkan pandangan, lalu kembali menoleh ke arahnya.

"Mmmm ... memangnya Gus An bisa memotong sayuran?" tanyaku meremehkan.

"Maksudmu?"

"Mmmm ... orang kaya, apa mungkin bisa melakukan pekerjaan dapur? Kalau tangan Gus An terkena pisau bagaimana? Sakit loh, Gus!" ucapku penuh ekspresi.

"Gadis bodoh!" ejek Gus An dengan mencubit hidungku.

"Dengar ya, Fa! Sejak kecil aku sudah berpisah dengan orang tua. Ketika usiaku 7 tahun, Mbah Kakung sudah mengirimku untuk belajar di Al Hasan. Bertemu dengan Mbah Kakung dan Mbah Uti hanya 1 bulan sekali, bertemu dengan abahku hanya 3 bulan sekali, menanggung rindu untuk bertemu ibu bertahun-tahun. Kadang hanya punya satu kali kesempatan untuk meneleponnya, itu pun hanya di hari raya. Lalu apa kamu pikir aku ini anak orang kaya yang manja?"

Cerita Gus An yang begitu sentimentil dan wajahnya yang begitu melankolis saat berucap, membuat hatiku yang begitu baik ini menjadi penuh simpati.

Aku tersenyum tipis seraya mengangguk.

Jujur aku tidak sanggup berkomentar apa pun tentang ceritanya. Takut salah kata dan membuat hatinya terluka.

Aku abaikan dia yang sudah rela hati membantuku memotong sayuran, sementara aku kembali mengaduk ayam madu yang bumbunya sudah mulai caramelize.

Baru saja aku mematikan kompor karena ayam maduku sudah matang, tiba-tiba saja Gus An meletakkan pisau dengan kasar seraya mendesis kesakitan.

"Aaaaaw ...."

Aku menoleh saat mendengarnya mengerang.

Laki-laki itu tampak fokus memperhatikan jari telunjuknya yang tersayat pisau.

Tampak juga darah segar keluar membanjiri ujung jari telunjuknya.

Aku pun bergegas menghampiri dan menarik tangannya.

"Aku bilang apa, terkena pisau itu sangat sakit," kataku.

Bergegas aku menarik tangan Gus An menuju wastafel, aku mencuci tangan yang jarinya berlumuran darah itu.

"Auuuuuw! Perih, Fa!"

"Iya, sabar sebentar!" lirihku.

Aku segera membuka kotak obat yang menempel di dinding dapur, meraih kain kasa, obat antiseptik, dan plester.

Segera aku keringkan luka Gus An dengan kain kasa, meneteskan antiseptik pada jarinya yang terluka, lalu membungkusnya dengan plester.

Ini adalah kali pertama aku menyentuh tangan Gus An, jari jemari dan kulitnya begitu lembut dan halus, sangat berbeda dengan kulit tanganku yang kasar.

Terlepas dari ungkapannya sebagai pria mandiri, bagiku Gus An tetap seorang kaya raya yang manja.

"Sudah," kataku dengan tersenyum seraya melepaskan tangannya yang baru selesai aku balut plester.

Sementara Gus An tampak menatapku dalam.

"Kenapa kamu begitu tidak romantis, Fa?" tanyanya serius seolah menyayangkan sikapku.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang