Bab 78 (Perasaan Gus An)

542 55 14
                                    

Saat ini aku sudah keluar dari rumah Bu Nyai, sengaja aku mampir ke rumah Mbah Uti yang jaraknya tidak begitu jauh dari pesantren Al Hasan.

Ternyata benar yang dikatakan Bu Nyai. Rumah almarhum Mbah Uti yang dulu hampir roboh, kini sudah berdiri kokoh, bahkan terlihat sangat indah.

Rumah berlantai dua dengan desain minimalis dan terlihat beberapa tanaman bonsai serta tanaman bunga di halamannya.

Ternyata Gus An benar-benar telah merenovasi rumah peninggalan Mbah Uti tersebut.

Setelah puas melihat rumah Mbah Uti aku pun mulai berbalik untuk meninggalkan tempat itu.

Jujur saat ini hatiku sangat bingung.

Haruskah aku kembali ke rumah Gus An untuk meminta penjelasan darinya, ataukah aku tetap bertahan di kosan Mutia menunggu sampai dia kembali menjemputku.

Oh! Semua ini benar-benar membuat perasaanku tak menentu.

Akhirnya setelah lama berpikir aku memutuskan untuk tetap bertahan di kosan Mutia.

Sembari melangkah menyusuri trotoar aku kembali mengingat percakapanku dengan Bu Nyai.

Rasanya pikiran ini begitu kacau.

Kenapa Gus An harus menyembunyikan penyakit ibunya dariku.

Apakah aku terlihat seperti wanita yang tidak memiliki belas kasihan.

Berapa lama dia tinggal bersamaku? Hingga masih menganggapku seperti orang asing.

'Oh, Gus! Sebenarnya seperti apa aku di matamu? Aku benar-benar tidak bisa menebak isi hatimu. Bahkan meski selama ini kamu baik padaku, aku tidak pernah mendengar ungkapkan perasaanmu padaku.'

Pikiranku terasa semakin kalut, hingga langkah kakiku yang semula menapak trotoar turun ke aspal saat sampai di tikungan jalan, membuat lengan kananku terserempet pengguna motor yang berbelok dan melaju begitu kencang.

Tubuhku pun seolah berputar hingga terjatuh di atas kerikil-kerikil kecil pecahan aspal.

Beberapa pengguna jalan dengan sigap membantuku bangkit, kemudian membimbingku untuk duduk di atas trotoar.

"Bagaimana sih, Mbak? Kalau jalan hati-hati!" kata seorang laki-laki paruh baya yang membantuku.

"Inggih, Pak. Maaf! Saya yang salah, tidak konsentrasi saat menyebrang," ucapku dengan mendesis merasakan perihnya telapak tangan dan lenganku yang baru saja tergores pecahan aspal di jalan.

"Ada yang luka Mbak?"

Pengguna motor yang tadi melaju kencang pun tiba-tiba menghampiri, menunjukkan sikap tanggung jawab karena sudah menabrakku.

"Enggak, cuma sedikit luka kok," kataku seraya tersenyum tipis karena menahan rasa sakit.

"Ayo, saya antar ke rumah sakit, biar lukanya dibersihkan!"

"Nggak usah, Mas. Nanti saya bersihkan sendiri dengan betadine di rumah," jawabku.

"Nggak papa, ayo saya antar ke rumah sakit!" paksanya.

"Nggak usah, Mas!"

"Nggak papa, ayo Mbak!"

Akhirnya aku pun mengiyakan ajakan laki-laki itu.

Dengan motornya aku dibonceng menuju rumah sakit yang jaraknya kurang lebih 1 kilometer dari terjadinya kecelakaan.

Aku langsung dibimbing olehnya menuju ruang IGD.

Setelah lukaku dibersihkan dan dokter memberikan resep obat, laki-laki itu mulai meminta maaf, memberikan biaya untuk menebus obat, serta berpamitan meninggalkanku.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang