Bab 12 (Abdi Ndalem)

724 29 1
                                    

Aku mulai menscroll layar gawaiku, mencari daftar makanan yang pernah dikirim oleh Bu Nyai Latifah.

Sungguh, jika aku tahu pesan dari Bu Nyai ini akan dibaca oleh Gus An, sudah pasti aku akan menghapusnya.

Setelah lama mencari, akhirnya aku menemukan ide untuk membuat menu sarapan pagi untuk laki-laki itu.

Bergegas aku membuka kabinet atas dapur yang berisi bahan makanan, meraih kaleng oatmeal seberat lima ratus gram.

"Mau masak apa, Mbak?" tanya Si Mbok penasaran saat aku mulai mendidihkan air.

"Gus An, tidak mau sarapan nasi Mbok," keluhku.

"Terus?"

"Aku mau buatkan dia bubur."

"Oalah, waktu dulu ada Ning Hil. Gus juga rewel kalau mau sarapan."

"O, iya?"

Aku menoleh sembari tetap mengaduk oatmeal yang baru saja aku masukkan ke air mendidih.

"Gus, suka marah tidak Mbok, sama Ning Hil?"

Jujur aku merasa penasaran dengan hubungan pernikahan mereka, karena aku tidak tau persis, sebab aku  masuk rumah ini semenjak Ning Hil jatuh sakit, tepatnya satu bulan sebelum Ning Hil meninggal.

"Gus, sayang banget sama Ning Hil. Tapi ya gitu, ngaleme Gus An sama istrinya itu, loh, Ma Sha Allah. Bahkan untuk makan siang di kantor pun nggak mau kalau bukan masakkan Ning Hil. Akhirnya setiap jam makan siang, sopir kantor datang, ambil makanan ke rumah," cerita si Mbok.

"Oooh ...."

Aku mengangguk-angguk dengan tersenyum lega.

Alhamdulillah, ternyata Gus An sangat mencintai Ning Hil. Andai dia memperlakukan Ning Hil seperti dia memperlakukan aku, tidak segan-segan aku akan buat perhitungan dengannya.

Aku mulai berpikir, mungkin karena rasa cintanya yang begitu besar kepada Ning Hil, Gus An selalu bersikap dingin padaku, bersikap kasar, dan bersikap angkuh.

Apalagi aku bukanlah wanita yang dia kehendaki, dan bukan wanita yang pantas dia jadikan istri.

Ning Hil, wanita itu bagai mutiara di mata Gus An, sedangkan aku, hanyalah pasir yang menempel di cangkang kerangnya. Jadi, mana mungkin Gus An bisa dengan mudah menerima aku di sisinya.

'Oh! Memikirkan hal ini, membuat hatiku semakin nelangsa.'

"Nduk! Nanti gosong."

Tiba-tiba si Mbok menepuk bahuku, memecah lamunanku, menyadarkan keteledoranku yang telah mengabaikan panci berisi bubur oatmeal itu.

Aku pun kembali fokus, memasukkan susu SKM ke dalam bubur.

Setelah bubur terasa lembut, aku bergegas mengangkatnya. Memplating makanan itu dalam mangkuk, dengan menambahkan irisan buah-buah segar di atasnya, lalu membawanya menuju meja makan.

Kulihat Gus An sudah berada di sana, duduk di hadapan Adiba dan kedua putranya.

Aku pun mulai meletakkan semangkuk oatmeal itu di hadapan Gus An.

Gus An menoleh tanpa tersenyum, kemudian mencicipi bubur oatmeal buatanku.

"Bagaimana rasanya?" tanyaku lembut dengan tersenyum.

"Rasanya, seperti bubur oatmeal," sahutnya datar dengan terus melanjutkan menyendok bubur itu.

Aku memperhatikan suap demi suap, Gus An cukup menikmati bubur oatmeal buatanku. Tapi entah kenapa sedikit ucapan terima kasih tidak bisa keluar dari mulutnya.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang