Bab 76 (Telepon Dari Bu Nyai)

468 46 12
                                    

Kini kami sudah sampai restoran. Seorang manager restoran menyambut dan membimbing kami menuju meja yang telah direservasi oleh bos Arif.

Sekitar dua puluh lima karyawan sudah menunggu di meja tersebut.

Semua yang tengah duduk mulai bangkit saat bos Arif menyapa mereka.

Aku yang saat itu berjalan di belakangnya langsung bergabung dengan teman-temanku.

Sengaja aku duduk di sebelah mbak office girl, karena di kantor ini kulihat hanya dia yang baik padaku.

Sesaat setelah itu, aku dengar bos Arif mulai memberi sambutan.

"Tujuanku mengajak teman-teman makan siang bersama, agar kita senantiasa menjalin keakraban, dan silaturahmi. Jangan sampai sesama teman ada yang membully, bahkan seenaknya memerintah dengan sesuka hati. Karyawan senior membimbing karyawan baru, karyawan baru kooperatif dalam menyelesaikan tugas jika belum mengerti, hingga terjadi suasana yang harmonis dalam bekerja. Jadikan partner kerja saudara, agar kita senantiasa nyaman saat berada di kantor," tuturnya dengan lembut dan senyum mengembang.

"Ayo, sekarang, mari makan bersama!" lanjutnya.

***

Suara piring dan sendok mulai beradu, kami semua serentak menikmati hidangan yang sudah tersaji di meja.

"Gaya, kamu, tadi aku ajak nggak mau, ternyata janjian sama Bos, toh," ujar mbak office girl.

"Aku sebenarnya nggak mau diajak, Mbak. Tapi nggak enak mau nolak ajakan Beliau."

"Oalah, eh! Apa mungkin Bos naksir sama kamu?" tanya mbak office girl kemudian.

"Mboten, Mbak. Kebetulan, tinggal saya karyawan yang ada di kantor, coba tadi ada karyawan lain, pasti juga diajak sama bos."

Aku mencoba meluruskan persepsinya.

"Kalau naksir kamu sungguhan bagaimana?"

"Nggak mungkin Mbak."

"Mungkin saja, orang kamu cantik."

Aku tersenyum mendengar pujiannya.

"Yo aku, yang nggak mau."

"Kenapa?"

"Karena saya sudah punya suami," sahutku dengan tersenyum, meski sebenarnya berat mengatakan hal itu, karena bisa jadi laki-laki yang aku sebut suami belum tentu mau mengakuiku sebagai istrinya.

"Oooh, kamu wis nikah, toh? Aku pikir masih gadis," sahutnya.

Aku tersenyum tipis.

"Wis! Ayo makan, Mbak!" ajakku kemudian.

Kami pun mulai menikmati hidangan yang sudah tersaji.

Setelah selesai makan, aku berpamitan kepada mbak office girl untuk ke kamar mandi sebentar, karena rasa ingin buang air kecil yang tidak bisa ditahan.

Namun belum sempat aku masuk ke dalam ruangan yang atas pintunya bergambar orang memakai rok, tiba-tiba dua wanita menarikku ke sebuah ruangan lain.

"Gatel ya kamu! Pasti, pakai dukun buat nggodain si Bos!" tuduh wanita itu dengan mendorong tubuhku ke dinding.

"Terus, apa maksud kamu, ngadu-ngadu kalau ada yang membully kamu di kantor?" tanyanya lagi.

Wanita yang memakai blouse warna putih dan wanita berambut cokelat itu terlihat sangat marah padaku.

"Aku nggak ngadu apa-apa, Mbak," sahutku membela diri.

"Bohong! Buktinya tadi bos Arif, bahas soal bullying di kantor. Apa coba maksudnya? Pasti kamu yang udah ngarang cerita macem-macem 'kan?"

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang