Bab 45 (Surat Perjanjian)

832 50 7
                                    

Satu menit, dua menit, hingga 180 menit, akhirnya 4 SKS perkuliahan telah selesai.

Aku mulai mengingat pesan Gus An, kalau tugasku di kampus hanyalah belajar dan kemudian pulang.

Iya, untuk saat ini aku harus mematuhi perintahnya, setidaknya aku harus bersabar tidak membantahnya sampai kasus di pengadilan selesai.

Setelah berpikir sejenak tentang masalah yang aku hadapi, aku bergegas bangkit dari kursi, mengikuti seluruh mahasiswa keluar dari kelas.

Kulihat di koridor lorong fakultas kak Aldo sudah menunggu, dan mahasiswa itu bergegas mendekat saat aku melangkah menuju lift.

"Bagaimana kuliahmu, Fa?" tanyanya dengan membuntutiku.

"Baik."

Aku menoleh sejenak kemudian berjalan cepat berusaha menghindar.

"Fa! Kenapa sih, kamu buru-buru banget?"

"Nggak papa, aku memang buru-buru pulang."

"Ya udah, aku antar."

"Nggak usah, Kak. Sudah ada yang antar jemput aku," sahutku seraya berlari kecil masuk ke dalam lift.

Tidak kusangka kak Aldo masih mengikuti.

Dan sial aku hanya berdua dengannya di dalam lift ini.

"Kamu kenapa sih, Fa? Kayak menghindar dari aku," tanya Kak Aldo penuh selidik sesaat setelah pintu lift tertutup.

"Hmmm ..."

Aku hanya menoleh dengan tersenyum.

"Kamu takut sama majikan kamu yang jahat itu?" tanyanya.

"Enggak," sahutku spontan.

"Dengar ya, Fa! Kamu boleh curhat sama aku. Kamu nggak perlu takut untuk cerita semuanya," ujar Kak Aldo meyakinkan.

"Terima kasih," sahutku dengan tersenyum.

Beruntung pintu lift sudah terbuka, aku bisa buru-buru keluar untuk menghindari mahasiswa sastra itu.

Namun Kak Aldo masih saja mengikuti langkahku.

Dia terus mengekor hingga di halaman gedung kampus.

"Aku ini aktivis, jurnalis kampus, Fa. Jika Majikanmu itu macam-macam, mengintimidasi kamu, melecehkan kamu, kamu bisa cerita sama aku, dan aku pasti akan membantu kamu."

Aku menoleh dengan kembali tersenyum.

"Ehm!"

Belum sempat aku menjawab, terdengar suara seseorang mendehem.

Tidak kusangka Gus An sudah berdiri di hadapan kami.

Kak Aldo yang masih berdiri di sisiku tampak menghela napas dalam saat melihat laki-laki dewasa itu memperhatikan kami.

"Assalamualaikum, Om!" sapa Kak Aldo dengan sopan.

"Waalaikum salam," balas Gus An dengan tatapan sinis.

Kulihat Gus An segera berbalik melangkah menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Aku pun dengan sigap mengikuti langkahnya, masuk ke dalam mobil sedan hitam itu.

"Beraninya bocah ingusan itu main-main denganku," gerutu Gus An lirih.

Laki-laki dengan jas abu-abu itu tampak memasang sabuk pengaman dengan wajah kesal.

Aku yang baru meletakkan bokongku di sampingnya sungguh merasa cemas.

Bergegas aku mengalihkan pandangan, untuk menghindari amarahnya.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang