Bab 71 (Lupa Jalan Pulang)

789 43 20
                                    

Tidak terasa sudah 10 jam aku berada di kantor konsultan hukum tersebut.

Kusentuh layar gawai yang aku letakkan di meja, ternyata sudah pukul lima sore.

Terlihat beberapa orang karyawan sudah berhamburan keluar dari ruangan, saling menegur sapa berpamitan pulang.

Sementara aku masih duduk di kursi, karena pekerjaan yang menumpuk ini belum juga selesai.

Aku melirik dua orang wanita yang tadi menyerahkan tugas-tugasnya padaku, berharap dia memintaku untuk melanjutkan pekerjaan esok hari.

Namun sikap dua orang wanita yang duduk kurang lebih tujuh meter di sebelah kananku itu tampak tak acuh.

"Heh! Besok pagi pekerjaan itu sudah harus selesai! Boleh kamu bawa pulang, atau kamu selesaikan di sini, terserah kamu," kata wanita berambut cokelat saat melihatku memperhatikannya.

"Yuk, pulang!"

Kudengar kemudian dia mengajak teman-temannya pulang.

Aku tersenyum getir melihat pemandangan pahit itu.

Kuabaikan rasa sakit hati ini dengan kembali memupuk semangat, menyelesaikan tugas-tugas yang mereka bebankan padaku.

Hingga tidak terasa hari sudah berganti petang, gedung berlantai tiga itu sepi, karena hampir 80 persen karyawan sudah pulang.

"Mbak sudah hampir jam delapan, loh! Sampean nggak pulang?" tanya seorang scurity dengan menghampiri mejaku.

"Belum selesai, Pak. Tinggal sedikit."

"Ya sudah, dilanjutkan besok saja."

"Besok pagi pekerjaan ini harus sudah selesai, Pak," jelasku.

"Tapi kalau seandainya pagi-pagi sekali kantor ini dibuka. Pekerjaannya bisa saya lanjutkan besok pagi, Pak," lanjutku.

"Saya besok piket pagi Mbak. Jam setengah 6 sudah ada di sini. Kalau pekerjaannya mau dilanjutkan besok pagi nggak papa."

Aku mulai berpikir dengan tawaran scurity itu.

Badanku sudah sangat lelah, ada baiknya jika besok sebelum jam 6 aku ke sini dan melanjutkan pekerjaan.

"Ya sudah, Pak, saya lanjutkan besok pagi," kataku kemudian seraya merapikan berkas-berkas di meja.

Setelah itu aku berpamitan kepada security yang masih berdiri di sisi mejaku untuk pulang.

***

Beberapa menit kemudian aku sampai di kosan Mutia.

"Kenapa semalam ini baru pulang Fa?" tanyanya khawatir.

Entah kenapa aku merasa lelah menjawab pertanyaan Mutia.

Sejenak aku abaikan gadis itu, aku berpamitan untuk membersihkan diri di kamar mandi dengan sebelumnya menjulurkan kantong plastik berisi dua bungkus nasi goreng abang-abang yang tadi aku beli saat di jalan.

Setelah membersihkan diri selesai, aku bergegas menghampiri Mutia, mengajak gadis itu untuk makan bersama di atas matras yang ada di samping ranjang tidur kami, sembari bercerita tentang pengalaman pertamaku menjadi karyawan di kantor konsultan hukum tersebut.

"Ya Allah, Fa. Kok melas banget uripmu. Berhenti saja sudah, dari pada makan hati! Ini baru hari pertama loh, aku nggak bisa membayangkan, besok apa lagi yang akan terjadi sama kamu," komentar Mutia.

"Kalau berhenti, itu namanya aku putus asa, Mut. Aku pernah denger kata pepatah, kalau kesuksesan itu tidak bisa diraih dengan mudah, banyak cobaan dan rintangannya. Apa mungkin ini jalan Allah untuk membuat aku jadi orang sukses ya, Mut?"

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang