Bab 56 (Mencakar Wajah Gus An)

733 58 6
                                    

Kini pagi kembali menjelang. Saat terjaga kulihat jarum jam sudah mengarah ke angka 3. Dan saat menoleh di sofa, kulihat Gus An sudah tidak ada di tempatnya.

Aku memperhatikan sekeliling mencari jejak laki-laki itu.

Namun baru saja aku hendak turun dari bibir ranjang, kulihat Gus An muncul dari pintu kamar mandi.

Laki-laki itu sudah rapi dengan baju koko dan sarung bermotif batik dengan warna senada.

"Sudah bangun, Fa?" tanyanya dengan tersenyum lembut.

"Ayo cepat berwudhu, kita salat tahajjud berjamaah!" ajaknya seraya melangkah menuju meja rias, memasang kopyah hitam yang tergeletak di atas meja itu.

Setelah mengangguk aku pun bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Hampir sepuluh menit aku berada di  kamar mandi, dan saat keluar dari kamar mandi, Gus An sudah terlihat tidak ada di dalam kamar.

Aku pun mulai mencarinya. Ternyata laki-laki itu sudah bersiap di atas sajadah, menungguku untuk salat sunnah berjamaah di mushalla, sebuah ruangan yang ada di sisi kanan kamar tidur Arkan dan Akbar.

Aku yang sudah mengenakan mukena dari kamar, bergegas menghampar sajadahku di belakang sajadah laki-laki itu.

Sejenak Gus An menoleh ke arahku.

"Sudah, Fa?" tanyanya lirih.

"Mmmm ..."

Gumamku dengan mengangguk.

Sesaat setelah itu, Gus An memulai takbiratul ihram untuk menjadi imamku. Dan ini adalah kali pertama, kami salat sunnah berjamaah.

Bukan hanya menjadi imam saat  tahajud, Gus An juga melanjutkannya dengan salat sunnah hajat, taubat, witir, hingga qobliyah subuh, dan dia lanjutkan dengan jamaah salat subuh.

Jujur, melihat kekhusuan Gus An saat beribadah membuatku semakin penasaran dengan kepribadiannya.

Laki-laki itu terlihat begitu salih, dewasa, seolah jauh dari kata arogan, menyebalkan, dan kekanak-kanakan.

'Oh! Gus! Sebenarnya, seperti apa dirimu ini?'

Sungguh sekalipun sudah lebih dari dua tahun tinggal bersamanya, aku masih belum bisa menebak seperti apa isi hatinya, karena dia sangatlah sering berubah-ubah, seperti memiliki kepribadian ganda, hingga membuatku tidak jarang pusing memikirkannya.

*****

Selepas menunaikan salat subuh, aku berpamitan untuk menyiapkan sarapan pada Gus An.

Laki-laki itu hanya menyahutinya dengan mengangguk kemudian melanjutkan berdzikir di atas sajadahnya.

Aku mulai menuju dapur, membuka kulkas, menyiapkan sayur dan lauk yang hendak aku masak.

Dapur masih terlihat sepi, karena Mbok Siti, Ningsih, dan budhe Sum masih ada di paviliun.

Sengaja aku memasak lebih pagi, karena aku hendak mengunjungi kosan Mutia sebelum berangkat ke kampus.

Aku mulai memasang celemek, membersihkan sayuran, mencuci daging ayam, lalu meracik bumbu.

Kini aku mulai meletakkan wajan di atas kompor, menumis bumbu, lalu memasukkan daging ayam yang sudah aku cuci bersih.

Di tengah konsentrasiku membolak-balik masakan tersebut tiba-tiba tangan kekar seseorang melingkar di pinggangku.

Aku tersentak seraya menoleh.

Seorang laki-laki mengukir senyum manis saat aku tercengang menatapnya.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang