Bab 4 (Kegaduhan di kamar)

873 25 0
                                    

Ucapan Gus An kembali menusuk jantung.

Kata-katanya begitu memilukan.

Aku akui kesalahan ini begitu besar, tapi tidak seharusnya dia terus saja mengungkit tentang status sosialku.

Aku mengangguk-angguk, menahan air mata yang seolah ingin terjun menjatuhi pipi.

"Saya keluar dulu, Gus!" pamitku dengan berjalan mundur, lalu bergegas membuka pintu kamarnya.

"Jika anak-anak rewel. Saya tidur di sofa," pesanku sebelum menutup pintu kamar.

"Aku bisa menjaga anak-anak sendiri," sahutnya tampan melihatku.

Aku tersenyum getir seraya menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju sofa ruang keluarga yang berada tepat di depan pintu kamar Gus An.

"Hmmmh!"

Rasanya begitu menyakitkan, dengan menyeka air mata, aku di duduk di sofa empuk itu, kemudian membaringkan tubuhku di sana.

Jika bukan karena amanah Ning Hil, mungkin aku tidak akan membuang waktu untuk berada di tempat ini.

Aku mulai mengatur napas, menyentuh dadaku yang sesak, lalu kemudian memejamkan mata.

Namun belum satu menit mataku terpejam, kudengar kegaduhan di kamar Gus An.

Arkan terdengar menangis dengan berteriak - teriak memanggil namaku.

"Mmm ... Fa! Mmm ... Fa! Fa!"

Kata itu yang biasa Arkan ucapkan saat mengharapkan aku datang menghampirinya.

Ingin rasanya aku melihat Arkan, namun saat mengingat kata-kata yang Gus An ucapkan, bahwa dia bisa menjaga anak-anaknya sendiri, membuatku langsung meredam rasa kekhawatiranku pada Arkan.

Biar saja dia mengurus anaknya sendiri, karena jika aku meremehkannya dan tidak patuh, bisa-bisa dia akan kembali murka.

Tidak lama kemudian tangisan Akbar juga terdengar.

Bayi kembar 1 tahun itu terdengar menangis bersahutan.

Aku yang merasa penasaran bergegas bangkit dari sofa, menghampiri pintu, mengintip Gus An dan putra-putranya dari lubang kunci.

Gus An terlihat menggendong Arkan, dan mengayun-ngayunnya, seraya memberikan mainan pada Akbar yang mulai berdiri memegang pagar kayu yang mengelilingi tempat tidurnya.

Wajah Gus An tampak kebingungan.

"Hmmmh!"

Aku membuang napas keras.

Ingin rasanya aku membantunya, namun kata-kata Gus An beberapa menit yang lalu kembali menghentikanku.

Akhirnya aku memutuskan untuk kembali beristirahat di sofa. Namun, belum sempat aku duduk. Suara tangis kembali terdengar, dan kali ini dari mulut Adiba.

"Bunda! Bunda! Bunda! Bunda Fa!"

Dalam isak tangis yang teramat keras gadis kecil itu memanggil namaku.

Aku berusaha mengabaikannya, dengan kembali mengingat kata-kata yang diucapkan Gus An.

Aku berusaha tak acuh dengan mulai menyandarkan punggungku di sofa, lalu merebahkan tubuhku di kursi panjang empuk itu.

Belum sempat aku memejamkan mata, tiba-tiba suara Gus An mengagetkanku.

"Farzana!" teriaknya menggetarkan sekeliling dinding kamar.

Spontan mataku terbelalak, aku yang semula berbaring segara membenarkan posisi, duduk tegap di sofa.

Brak!

Pintu dibuka begitu keras, hingga menyentuh dinding yang ada di sisi Kamar.

"Kamu tidak dengar anak-anakku menangis?"

Gus An berteriak sembari menatapku geram.

Tampak peluh keringat di pelipis laki-laki yang menggendong dua bayi di pinggang kanan dan kirinya itu.

Aku tercengang melihat amarahnya. Dia sendiri yang mengatakan kalau bisa mengurus anak-anaknya, tapi kenapa sekarang malah marah-marah padaku.

"Kenapa masih duduk?" teriaknya lagi.

"I - iya, Gus."

Aku tersentak hingga menjawab teriakannya dengan suara terbata.

Aku bergegas bangkit dari sofa seraya menghampirinya.

"Gus bilang bisa mengurus anak-anak sendiri, makanya aku tidak masuk ke dalam kamar," bantahku saat sudah berada di hadapannya.

"Itu jika mereka tidak menangis semua!"

Gus An menjawab dengan mulut bergetar seolah geregetan padaku.

"Iya."

Aku yang tidak ingin emosinya semakin tersulut bergegas meraih kedua putranya yang sedari tadi menjulurkan tangan padaku.

"Cup! Cup! Cup, Sayang!" kataku saat menggendong dua pria kecil itu.

Aku bergegas membawanya masuk ke dalam kamar dan menurunkannya di ranjang, tepat di samping Adiba yang saat ini masih menangis.

Gus An mengikutiku, menghela napas dalam, kemudian duduk di sofa dengan memperhatikanku.

Aku mulai menata bantal memanjang, membaringkan tubuhku di sisi Adiba, lalu meminta Arkan dan Akbar untuk ikut tidur bersamaku.

Spontan Akbar berbaring di sisiku dan Arka berbaring di perutku.

Aku mulai mengusap-usap kepala Akbar dan Adiba yang berbaring di sisi kanan dan kiriku, dengan sesekali mengusap kepala Arkan yg berbaring di perutku.

Tidak menunggu lama, lima menit kemudian Adiba dan Akbar pun terlelap, hanya Arkan yang masih terlihat membelalakkan mata dengan memainkan kancing baju yang menempel di dadaku.

Perlahan aku turun dari ranjang, menggendong Arkan dengan jarik, agar dia juga ikut tertidur seperti saudara-saudaranya yang lain.

"Ayo, Nak, bubuk!" kataku dengan mengusap lembut kepalanya.

"Cucu!" celoteh bayi lucu itu dengan mendongak menatapku.

Aku tersenyum seraya bergegas keluar dari kamar, meninggalkan Gus An yang sedari tadi duduk di sofa memperhatikan kami.

Aku ajak pria kecil itu membuat susu hangat untuk dirinya.

Benar saja setelah satu botol susu habis, Arkan tertidur lelap dalam gendonganku.

Segera aku memindahkan pria kecil itu ke atas ranjang tidurnya, lalu mengangkat Akbar yang masih tidur di sebelah Adiba ke sisi saudara kembarnya.

Aku mulai menarik ke atas, pagar yang ada di setiap sisi rajang tidur itu, lalu kemudian meninggalkan mereka.

Aku melangkah menghampiri Gus An yang masih duduk di sofa.

"Anak-anak sudah tidur, aku keluar dulu," pamitku padanya.

"Tidur di sini saja!" katanya seraya bangkit dari sofa.

Dengan tak acuh laki-laki itu melangkah menuju ranjang, lalu membaringkan tubuhnya di sisi Adiba.

Dia sama sekali tidak menawarkan  bantal atau selimut padaku, padahal aku sudah bekerja keras membantunya.

'Dasar laki-laki tidak tahu terima kasih, tidak punya perasaan!' gerutuku dalam hati, seraya duduk di sofa, lalu membaringkan tubuhku di sana.

"Hmmmh!"

Aku membuang napas keras, berusaha mengabaikan sikap kasar, angkuh, dan dinginnya.

Bersambung.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang