Bab 50 (Makan Siang)

763 52 11
                                    

"Aku bisa saja memukul wajahmu! Tapi tanganku itu terlalu bersih untuk menyentuh laki-laki kotor seperti kamu!" kata Gus An saat Randy dan Kak Aldo hendak berbalik meninggalkannya.

Randy pun kembali fokus dengan mendekat ke arah Gus An.

"Kamu boleh kurang ajar pada wanita lain, tapi bukan pada Farzana. Ingat! Kamu sudah bertunangan dan menghamili gadis yang saat ini sedang meringkuk dipenjara. Dan bisa-bisanya kamu masih mengatakan menyukai gadis lain, jatuh cinta pada gadis lain. Dasar penzina! Berandal, kurang ajar!" maki Gus An dengan tersenyum kecut dan menunjuk wajah Randy.

Beberapa mahasiswa yang berkerumun melihat pertengkaran itu mulai tercengang. Ada yang membulatkan mata dengan menutup mulut, ada juga yang langsung berbisik membicarakan Randy.

"Jadi, kamu sudah menghamili Neta Ran?" tanya Kak Aldo dengan menoleh, menatap Rendy tak percaya.

"Pantas Neta begitu marah pada Farzana, keterlaluan kamu!" tambah Kak Aldo dengan berbalik meninggalkan Randy.

Aku yang tidak ingin terlalu lama berada di antara kerumunan itu bergegas masuk ke dalam mobil Gus An.

"Fa! Fa!"

Entah kenapa mata Randy begitu jeli, dia kembali mengejarku dan langsung menggedor-gedor pintu mobil yang baru saja aku tutup.

"Fa! Demi tuhan aku tidak pernah menghamili Neta. Itu lah alasanku kenapa ingin putus dengan dia! Bukan aku yang menghamili Neta! Tolong kamu percaya! Aku berani sumpah!" jelas Randy dengan masih menggedor-gedor kaca mobil Gus An.

Dari dalam mobil aku melirik laki-laki bertubuh jangkung itu. Entah kenapa dia begitu memaksa agar aku percaya dengan ucapannya.

"Fa! Fa! Aku berani bersumpah. Aku tidak pernah menghamili Neta," jelas Randy lagi dengan masih menggedor-gedor kaca mobil Gus An.

"Teruskan saja menggedor kaca mobilku sampai pecah. Agar aku bisa segera mengirimmu tinggal bersama tunanganmu itu ke penjara!" kata Gus An datar, seraya beranjak masuk ke dalam mobilnya.

Dengan tersenyum puas Gus An menarik perseneling mobil lalu melajukan mobilnya itu meninggalkan halaman kampus.

Aku mulai memperhatikan laki-laki yang mengemudi mobil di sampingku ini.

Entah kenapa keberuntungan selalu memihak padanya, dalam segala situasi dia selalu menjadi pemenang. Kecuali saat berhadapan dengan keluarga Bu Nyai, dia terlihat sangat patuh dan tunduk.

Saat aku serius memperhatikannya, tiba-tiba dia menoleh ke araku.

"Kenapa melihatku seperti itu?" tanyanya dengan wajah angkuh.

"Tidak apa-apa," sahutku seraya membuang muka.

"Bangga kamu? Disukai sama berandal seperti itu?" tanyanya dengan senyum mengejek.

"Jangan sampai hanya karena disukai berandal, kamu merasa bangga diri, ya!" lanjutnya.

"Siapa yang bangga diri?" sahutku kesal.

"Siapa yang tahu isi hatimu?" balasnya.

"Hmmh! Hidupku ini sudah begitu rumit. Punya suami yang selalu merendahkanku dan menganggapku sebagai pembantu. Apa menurut Gus An, aku masih punya waktu untuk memikirkan bangga disukai laki-laki," ucapku dengan mengangkat dagu.

Seketika Gus An mengalihkan pandangan dan fokus mengemudi.

Sungguh ingin sekali aku mencakar wajahnya.

Laki-laki di sebelahku ini begitu menyebalkan, terkadang bersikap lembut seolah benar-benar menginginkanku, tapi terkadang begitu angkuh dan tidak  menganggapku.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang