Bab 16 (Sakit)

700 31 4
                                    

Tidak terasa waktu yang ditunggu telah tiba.

Ujian seleksi masuk universitas satu jam lagi akan dimulai.

Setelah mengantar anak-anak Gus An ke sekolah, aku bergegas mendatangi lokasi ujian.

Sudah banyak peserta yang hadir, sembari menunggu waktu ujian aku sempatkan untuk belajar kembali.

Hingga akhirnya waktu ujian tiba dan aku mulai masuk ruangan, duduk di depan komputer, dan siap mengerjakan kurang lebih seratus soal.

Dengan berdoa dan penuh teliti aku mulai mengerjakan soal-soal tersebut, meski sebenarnya aku tidak cukup percaya diri, karena soal-soal yang aku kerjakan sangatlah rumit.

****

"Bagaimana tadi, Fa?" tanya Mutia, seorang sahabat yang sedari tadi setia menemaniku.

"Angel," jawabku tanpa semangat.

"Terus?"

"Ya, tetap tak kerjakan, meskipun aku nggak bisa."

Aku mengapit lengan Mutia sembari meringis.

"Ya, wis, Fa. Ndungo wae, mugo, awakmu keterimo," sahut Mutia dengan menepuk-nepuk lenganku.

"Aamiin."

Aku tersenyum mengamini doa Mutia.

****

Tidak terasa hari itu telah berganti, dan aku memulai aktivitas pagi kembali.

"Uhuk! Uhuk!"

Entah kenapa saat bangun tidur tadi subuh, tubuhku terasa tidak nyaman, suaraku pun tiba-tiba menghilang.

"Nduk, wajahmu pucat, kalau kamu sakit istirahat saja," kata Mbok Siti.

"Iya, Mbok. Nanti, setelah masak dan ngurus anak-anak selesai," sahutku dengan suara yang tiba-tiba serak.

"Kamu masuk angin, ta?"

"Nggak tau Mbok, mungkin sudah waktunya sakit."

"Duduk dulu! Tak buatkan teh anget, terus minumo tolak angin!"

Mbok Siti menyentuh lembut lenganku, memintaku untuk duduk di kursi yang ada di dapur.

Sembari menyeduh teh untukku, Mbok Siti juga menggantikan pekerjaanku menggoreng daging ikan kakap merah yang aku balut tepung.

Aku mulai duduk di kursi dengan memijit-mijit dahiku, sembari sesekali mengeluarkan suara batuk.

"Tenggorokanku sakit, Mbok, serasa banyak dahaknya," kataku pada si Mbok.

Mbok menoleh sembari mendekat padaku menyuguhkan teh hangat kuku yang baru selesai dia buat.

"Minum tehnya, terus minum tolak angin ini," kata si mbok dengan menjulurkan satu sachet obat herbal itu.

"Terima kasih ya, Mbok!"

Aku tersenyum.

"Badanmu panas loh, Nduk," kata si Mbok saat menyentuh dahiku.

"Istirahat saja, dulu!" tambahnya.

Aku tersenyum dengan mengangguk, lalu meneguk sedikit demi sedikit teh yang disuguhkan si Mbok.

Setelah menghabiskan teh dan obat herbal itu, aku beranjak dari kursi menata menu sarapan untuk Gus An dan ketiga anaknya.

Gus An terlihat sudah duduk di meja sementara anak-anak masih memakai seragam sekolah bersama Ningsih di kamar.

"Gus! Mmm ... Aku sakit," kataku padanya.

Laki-laki itu menoleh. Memperhatikan wajah pucatku.

"Uhuk!"

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang