Bab 6 (Ikhtiar)

731 25 0
                                    

Setelah melihatku berdandan cantik dengan mengenakan abaya pilihannya, Bu Nyai Latifah berpamitan pulang.

"Bismillah! Diniati ibadah! Mugi sukses yo, Nduk, bengi Iki," kata wanita itu dengan menyentuh pipiku seraya keluar dari rumah menantunya.

Sesaat setelah mobil yang membawa Bu Nyai Latifah pergi, aku bergegas masuk kembali ke dalam kamar melihat anak-anak Gus An yang sudah terlelap lebih awal.

Aku mulai melirik jam dinding. Sudah pukul tujuh, tapi Gus An masih belum pulang.

Akhirnya aku memutuskan untuk salat Isyak terlebih dahulu, lalu kembali merapikan jilbabku, menambah sedikit riasan, kemudian menunggu Gus An di sofa kamarnya.

Hampir tiga puluh lima menit menunggu namun Gus An belum juga pulang, akhirnya setelah lima belas menit berselang Gus An pun datang.

Ceklek!

Seperti biasa dia membuka pintu tanpa salam.

Laki-laki itu melirikku dengan melonggarkan kerah kemejanya, hanya melirikku lalu kemudian memalingkan muka, menuju ranjang merebahkan tubuhnya di samping Adiba.

'Oh! Mungkin bedakku ini kurang tebal,' batinku.

Bisa-bisanya dia begitu tak acuh padaku.

Aku mulai memperhatikannya.

Kaos kaki yang masih menempel di kaki.

Tidak kubuang waktu sia-sia.

Aku bergegas menghampiri laki-laki itu, duduk berlutut di bawah kakinya.

"Apa?"

Spontan dia mengangkat tubuhnya, melihatku, saat aku menyentuh kakinya.

"Aku bantu melepas kaos kakinya ya, Gus," jawabku dengan tersenyum.

"Oooh ..."

Dia hanya menggumam dan kembali menidurkan kepalannya di bantal.

Sepertinya wajahku terlihat sangat bodoh di hadapannya, tapi sudahlah, Bu Nyai bilang, niati dengan ibadah.

Saat mulai membuka kaos kakinya, tiba-tiba terasa kaki Gus An menyentuh pelipisku.

'Kurang Ajar!' makiku dalam hati.

Aku mendongak melihat laki-laki itu, kalau dia sengaja, tidak segan-segan aku akan mengumpatinya.

Tapi sepertinya dia memejamkan mata.

'Ah! Sudahlah! Mungkin dia tidak sengaja. Tapi jika dia sengaja, biar Allah saja yang membalas.'

***

Saat ini aku telah selesai melepas kaos kaki Gus An, perlahan aku bangkit dari posisiku yang semula berlutut.

Laki-laki itu terlihat meregangkan tangannya, matanya juga tidak lagi terpejam.

"Gus! Apa mau aku siapkan makan malam?" tanyaku lembut.

Gus An melirikku sejenak.

"Aku sudah makan di kantor, tolong jangan menggangguku, aku mau istirahat!" katanya seraya membalikkan badan.

Sungguh menyebalkan, kalau saja bukan karena niat ibadah, sudah aku lempar kaos kaki bau ini ke wajahnya.

"Oooh!"

Aku membuang napas seraya berbalik meninggalkannya.

'Ya Allah! Aku harus belajar ikhlas. Tidak boleh menggerutu. Nanti tidak bernilai ibadahku ini!'

Aku menyentuh dadaku berusaha menasihati diri sendiri, agar aku ikhlas dalam ikhtiar memenangkan hati Gus An.

Anggap saja aku meneladani kesalihan Asiyah binti Muzahim yang tetap menjadi istri salihah sekalipun memiliki suami yang kejam.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang