Bab 77 (Air mata menitik di pipi)

498 49 9
                                    

"Inggih Bu Nyai, wonten nopo?" tanyaku.

"Ummi mau ketemu kamu. Tapi si Mbok dan Ningsih bilang, kamu sedang Diklat. Diklat opo to, Nduk?"

"Inggih. Diklat HMI, Bu Nyai," jawabku asal.

"Opo iku?"

"Kegiatan organisasi di kampus Bu Nyai, Himpunan Mahasiswa Islam," terangku.

Sejujurnya aku merasa berdosa karena sudah berbohong.

"Oalah. Kapan selesainya?"

"Mmmm ... besok," sahutku dengan masih berbohong.

"Yo wis, besok ummi balik ke sini lagi."

"Jangan!" sahutku spontan.

"Kenapa?"

"Mmmm ... setelah kegiatan Diklat selesai, biar Farzana yang ke ndalem Bu Nyai. Farzana rindu pingin sowan ke pesantren Al Hasan."

Aku mencoba mencari alasan yang tepat.

"Oalah. Yo wis, ummi tunggu ya, Nduk!"

"Nggih, Bu Nyai," sahutku kemudian seraya mengakhiri percakapan.

Selepas itu, aku kembali memasukkan  gawai ke dalam tas.

Pak Arif yang duduk di sebelah kananku tampak memperhatikan dengan tatapan curiga.

Sepertinya laki-laki ini memahami gelagatku yang berbohong pada seseorang yang baru saja aku telepon.

Aku pun berusaha mengabaikan sikapnya dengan mengalihkan pandangan.

"Kamu Diklat apa?" tanyanya kemudian mengejutkanku.

Aku pun perlahan menoleh dengan meringis.

"Kemarin ada Diklat di kampus," sahutku.

"Sebenarnya ini bukan urusanku, tapi aku tidak suka dengan orang yang suka berbohong," katanya.

"Ini masalah pribadi, maaf saya tidak bisa menjelaskan," balasku.

"Aku baca CV mu, bertahun-tahun kamu belajar di pesantren, masak iya pandai berbohong, tidak takut dosa?"

"Sudah saya jelaskan, ini masalah pribadi," sahutku dengan kemudian menunduk.

"Jika sikap saya, membuat bapak ragu untuk tetap mempekerjakan saya di kantor bapak, tidak masalah, saya akan segera mempersiapkan surat resign," lanjutku.

Laki-laki itu terdengar membuang napas keras.

"Aku tidak suka mencampur adukkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Simpan saja masalah pribadimu, aku tidak perduli! Yang penting kerjakan tugasmu dengan baik!" sahutnya kemudian dengan membuang muka.

'Oh, ternyata dia masih menginginkan aku bekerja di kantornya. Baguslah kalau begitu.'

Aku pun mulai bernapas lega.

****

Tidak terasa kini hari telah berganti. Selepas salat subuh, aku mulai bersiap, karena hendak ke pesantren Al Hasan.

"Kamu nggak kerja, Fa?" tanya Mutia.

"Kok pakai gamis syar'i?" lajut gadis lencir itu dengan memperhatikan penampilanku di cermin.

"Mau ke pesantren Al Hasan, Mut."

"Ngapain?"

"Mau matur ke Bu Nyai, tentang rencana ceraiku dengan Gus An."

"Serius?

"Ya serius, lah!"

"Aku kok nggak yakin."

"Nggak yakin opo?"

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang