Bab 55 (Sikap Lembut Gus An)

859 54 3
                                    

Saat ini aku sudah berada di dalam kamar si kembar.

Kubimbing dua bocah kecil itu untuk berbaring di ranjang.

Aku mengambil posisi di tengah, sementara bocah kecil itu berada di samping kanan dan kiriku.

Setelah posisi berbaring mereka nyaman aku mulai meraih buku cerita yang tergeletak di atas bantal.

"Uwais Al Qorni."

Aku mulai membaca sampul buku cerita tersebut.

"Uwais Al Qorni adalah seorang anak laki-laki yang sangat sayang kepada ibunya. Taukah kamu, jika Uwais Al Qorni ikhlas menggendong ibunya yang ingin menunaikan ibadah haji."

Belum sempat aku meneruskan membaca buku cerita, kedua bocah kembar itu sudah terlihat mendengkur dengan melingkarkan kaki dan tangannya di pinggangku.

'Oh! Sepertinya mereka benar-benar mengantuk.'

Dengan penuh kasih aku mulai membelai kepala mereka berdua, lalu bergantian mencium kening dua malaikat kecil itu.

Selang beberapa menit kudengar langkah seseorang menuju kamar.

Aku yakin itu adalah Gus An. Aku bergegas kembali ke posisiku. Meletakkan buku cerita yang baru saja aku buka ke atas wajahku.

Aku sengaja pura-pura tidur, agar Gus An tidak lagi berpikir untuk mengurungku di dalam kamar seperti yang dia ucapkan tadi.

Setelah membuka pintu kamar, kurasakan langkah Gus An mendekat ke arah ranjang tidur kami.

Tangannya perlahan meraih buku cerita yang menanggal di atas wajahku.

Gus An menutup buku itu lalu meletakkannya di rak buku cerita si kembar.

Kemudian laki-laki itu kembali mendekat ke arah kami, meraih selimut yang ada di ujung kaki kami, lalu menutupkannya ke tubuh kami dengan pelan.

Aku yang sedikit membuka mata, melihat Gus An mulai mencium kening putranya secara bergantian, lalu kemudian mendekatkan ujung hidungnya ke pipiku.

Namun belum sempat ujung hidung itu menyentuh kulit pipiku tiba-tiba gawai di saku jasnya berdering.

"Assalamualaikum! .... Iya, sebentar lagi aku sampai kantor. Iya, tolong kondisikan dulu," katanya di dalam telepon seraya membalikkan badan melangkah meninggalkan kamar si kembar.

*****

Tidak terasa malam telah menjelang. Setelah mengurus anak-anak Gus An, menyiapkan makan malam, membantu mereka belajar, menidurkan mereka di kamar masing-masing, aku kembali ke kamarku.

Sejujurnya ada perasaan gundah yang mendalam. Bagaimana nanti jika aku bertemu dengan Gus An, karena entah kenapa setelah kejadian tadi siang ada sesuatu yang berbeda di hatiku, aku merasa gugup dan canggung saat berada di dekatnya.

Aku mulai membaringkan tubuhku di atas ranjang, sembari mengotak atik gawai aku memandangi jam dinding, sudah jam delapan malam sebentar lagi Gus An pasti akan pulang, dan rasa cemas ini kembali menyelimuti.

Namun dugaanku salah besar, hingga satu jam berselang, ternyata Gus An belum juga datang.

Kini jarum jam sudah mengarah ke angka sembilan, dan jarum yang lebih panjang mengarah ke angka tujuh.

Artinya sudah lebih dari jam sembilan malam Gus An belum pulang.

Aku pun bergegas bangkit dari tempat tidur, membuka almari Gus An, menyiapkan piyama untuknya, lalu menulis pesan pada secarik kertas dan meletakkannya di meja sofa, karena biasanya selepas pulang kerja Gus An selalu saja meletakkan laptop yang dia bawa dari kantor ke meja sofa ini.

Aku menulis pesan agar dia membangunkanku jika mau disiapkan makan malam atau air hangat untuk mandi.

Setelah meletakkan secarik kertas itu aku bergegas kembali ke atas tempat tidur untuk membaringkan tubuhku.

Sungguh malam ini mataku sulit sekali terpejam.

Masih ada rasa gundah yang menyelimuti.

Gus An! Laki-laki itu benar-benar mampu membuat kacau pikiranku.

Rasa cemas, takut, dan entah rasa apalagi yang membelenggu di dalam dada ini, hingga aku harus membalikkan tubuhku ke kanan dan ke kiri, bangun, tidur lagi, bangun, dan tidur lagi.

Dan karena kecemasan ini tidak terasa jarum jam yang awalnya ada di angka sembilan beralih ke angka sepuluh.

Di saat yang bersamaan, aku yang tidak bisa menutup mata, mendengar langkah seseorang menuju kamar.

Ceklek!

Aku pura-pura memejamkan mata saat melihat Gus An masuk ke dalam kamar.

Laki-laki itu terlihat meletakkan tas laptopnya di meja sofa, lalu kemudian duduk di sofa panjang tersebut.

Tangannya tampak membuka jas yang dia kenakan, setelah itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya.

Dahinya mengernyit saat melihat secara keras berisi pesan yang aku letakkan di meja sofa tadi.

Perlahan tangannya meraih kertas itu dan membacanya.

Setelah selesai membaca bibirnya tampak tersenyum tipis dengan mata memperhatikan diriku yang tengah berbaring di ranjang.

Gus An pun bangkit dari sofa dan mendekat ke arah ranjang.

Laki-laki itu tampak meletakkan bokongnya di atas ranjang tersebut sembari membenarkan selimutku yang sedikit tersibak.

Tangannya pun terasa membelai lembut ujung kepalaku yang tertutup jilbab tipis berbahan kaos.

Dia sama sekali tidak menggunakan kesempatan ini untuk mengunci pintu dan memaksaku menunaikan kewajiban sebagai seorang istri.

Bahkan tatapannya saat memandangi wajahku penuh kasih dan sama sekali tidak memburu nafsu.

Setelah itu dia mulai meraih gawainya yang dia letakkan di saku kemeja.

"Apa berkas pernikahan untuk dibawa ke KUA sudah kamu siapkan semua? .... Setelah urusanku di luar kota selesai, aku ingin segera membawa Farzana ke KUA. Tolong urus juga mas kawin yang akan aku berikan padanya saat tajdidun nikah nanti. Dan jangan lupa, urus juga persiapan acara tasyakuran pernikahan kami."

Aku mendengar Gus An berbicara dengan seseorang di dalam teleponnya.

Sejujurnya aku terpaku saat mendengarnya.

'Ya Allah! Jadi, Gus An benar-benar akan menikahiku. Apakah yang kudengar ini bukan mimpi? ... Lalu bagaimana dengan dokter cantik itu? ... Apa ini artinya Gus An lebih memilihku? ... Oh! Gus! Jangan membuat hatiku membeku karena sikap baikmu! Kamu begitu sulit ditebak. Jangan buat aku ketakutan karenanya.'

Sungguh hatiku penuh tanda tanya. Gus An adalah pribadi yang sering kali berubah-ubah, terkadang bersikap begitu arogan, terkadang bersikap begitu baik hingga menenangkan.

****

Kulihat setelah itu Gus An meraih piyama yang sudah aku letakkan dengan rapi di atas bantal tidurnya.

Tanpa membangunkanku dia menuju kamar mandi.

Sepertinya dia menyiapkan air hangatnya sendiri untuk mandi.

Dan setelah keluar dari kamar mandi, dia beranjak keluar dari kamar.

Dia masuk kembali dengan membawa gelas berisi minuman hangat, karena tampak asap mengepul di atasnya.

Sembari sedikit demi sedikit menyeruput minuman dalam gelas tersebut, Gus An membuka tas laptopnya dan mulai berkonsentrasi di depan benda berbentuk persegi panjang tersebut.

Gus An, sama sekali tidak menggangu waktu istirahatku, dan karena hal itu aku pun merasa sedikit tenang untuk menutup mataku dan beristirahat di kamarnya.

Bersambung

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang