Bab 5 (Nasihat Mertua Gus An)

840 25 0
                                    

Pagi menjelang siang, aku sudah menyelesaikan tugas-tugasku. Mengantar Adiba sekolah, menyuapi Akbar dan Arkan, serta menidurkan bocah kembar itu.

Aku mulai meregangkan tangan di atas ranjang milik Adiba dan abinya, membaringkan tubuhku di sana, lalu sejenak memejamkan mata melepas rasa lelahku.

Belum tiga puluh menit aku terlelap. Ningsih, asisten rumah tangga yang bertugas menjaga anak-anak mulai mengetuk pintu.

"Mbak Fa! Mbak Fa!"

Seruan Ningsih dari balik pintu sontak membuatku terjaga.

Aku bergegas bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu.

"Ada Uti Ummi di depan," katanya.

Aku mengangguk sembari melangkah ke ruang tamu.

Benar saja, ada Bu Nyai Latifah di sana.

"Assalamualaikum, Bu Nyai!"

Aku beruluk salam seraya mencium punggung tangannya, lalu duduk di sebelah wanita 55 tahun itu.

"Arek-arek wis turu, Fa?" tanyanya lembut.

"Inggih."

"O, Iyo. Fa! Bagaimana tadi malam. Gus An, terpesona 'kan sama kamu?" tanyanya dengan senyum menggodaku.

Mungkin dia berpikir telah terjadi sesuatu di antara kami tadi malam.

"Mboten, Bu Nyai."

"Loh! Kok iso?"

Aku tersenyum tipis.

"Gus An itu, masih sangat sayang sama Ning Hil, jadi Beliau tidak berkenan saya memakai baju istrinya."

"Oooh! ... Terus yaopo, kamu dimarahi?"

"Mboten. Beliau menasehati saya dengan baik."

Aku tidak ingin mengadu apa pun pada Bu Nyai Latifah, karena aku tidak ingin mereka berdebat gara-gara aku.

"Oalah! Alhamdulillah kalau begitu," sahut Bu Nyai.

"Yo wes, ummi mau keluar dulu," pamitnya kemudian.

"Loh! Mau ke mana? Kok sebentar sekali."

"Iya, ummi masih ada urusan. In Sha Allah nanti ke sini lagi," jelasnya.

Wanita 55 tahun itu tampak tergesa. Setelah beruluk salam, dia bergegas keluar dari rumah menantunya.

****

Selepas Bu Nyai Latifah pergi, aku kembali mengerjakan tugasku, menjaga Akbar dan Arkan yang sudah terbangun, dan menjemput Adiba dari sekolah.

Kebetulan Adiba sekolah dipertengahan kota yang lumayan jauh dari rumah, jadi aku menjemputnya tiga puluh menit lebih awal.

Tak terasa sore kembali menjelang. Aku mulai sibuk dengan rutinitasku, memandikan Arkan, Akbar, dan Adiba.

Sungguh melelahkan, tapi aku cukup senang melakukannya, karena selain menjalankan amanah dari orang yang aku cinta, melihat senyum malaikat-malaikat kecil ini juga sangat menenangkan jiwa.

Selang beberapa saat setelah memandikan putra putri Ning Hil, suara Ningsih kembali terdengar.

"Mbak Fa, ada Uti Ummi," katanya dengan berdiri di muka pintu.

Aku mengangguk seraya meminta Ningsih menggantikan tugasku, memakaikan anak-anak baju.

"Mbak, setelah selesai pakai baju, tolong anak-anak disuapi!" pesanku sebelum meninggal wanita itu.

***

Saat ini aku sudah berada di ruang tamu bersama uti umminya anak-anak.

Seperti biasa aku beruluk salam sembari mencium punggung tangannya.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang