Bab 39 (Gus Semakin Geram)

765 41 2
                                    

Saat hendak melintasi persimpangan, mobil perlahan berhenti karena lampu lalu lintas yang tiba-tiba menunjukkan warna merah.

Tok! Tok!

Kudengar seseorang mengutuk kaca mobil yang ada di sisi kananku.

Aku menoleh, ternyata motor besar kak Randy berhenti di sisi kanan mobil Gus An.

Aku pun membuka kaca mobil karena sepertinya kak Randy ingin bicara denganku.

"Assalamualaikum, Fa!" sapa mahasiswa semester tujuh itu dengan tersenyum.

"Waalaikum salam," jawabku.

"Aku bawa sarapan buat kamu. Kamu pasti belum sempat makan, 'kan?" katanya.

Aku tersenyum, dan saat hendak berucap terima kasih, tiba-tiba kaca mobil menutup dengan sendirinya.

Aku pun tersentak seraya menoleh ke arah Gus An yang melirikku sinis.

Pasti duda beranak tiga itu yang sudah menutup kaca mobil dengan tidak sopan.

"Tidak sopan!" cetusnya lirih seraya menarik perseneling mobil.

"Mengganggu pengendara," tambahnya dengan melajukan mobil karena lampu sudah berubah hijau.

"Siapa yang pengendara, aku hanya penumpang," sahutku.

"Kamu membantahku, Fa?"

Gus An seketika menyerangah.

"Bukan membantah, tapi Gus An tidak sopan. Aku kan, masih belum selesai bicara," sahutku.

"Oh! Mau bicara apa kamu sama berandal itu?" tanya Gus An sembari menyetir.

"Terima kasih, karena dia sudah membawakan makanan untukku."

"Dengar ya, Fa! Jangan mudah menerima pemberian orang lain. Apalagi orang yang baru kamu kenal, karena bisa jadi dia mencampur makanannya dengan sesuatu yang membahayakan dirimu," nasihat Gus An dengan wajah kesal.

"Aku tidak biasa su'udzan pada orang. Lagi pula saat kemarin makan bekal dari kak Randy, badanku tetap sehat, dan aku tetap baik-baik saja," bantahku mengimbangi nada kesalnya.

"Oh! Jadi kamu sudah pernah makan bekal dari laki-laki itu."

Wajah Gus An terlihat semakin geram.

"Dengar ya, Fa! Jangan makan pemberian orang lain! Kamu pikir aku tidak bisa memberimu makan? Kalau kamu mau bekal, bawa dari rumah! Itu jauh lebih sehat."

Kudengar Gus An menekan suaranya.

"Asal kamu tahu! Aku menasehati kamu karena aku perduli!" tambahnya.

"Iya, tapi aku ma..."

Belum selesai aku bicara Gus An langsung menyela.

"Jangan membantah, Fa!" pekiknya.

Mulutku pun seketika bungkam dengan tangan memeluk Arkan yang duduk di pangkuanku.

Laki-laki kecil itu mendongak melihatku dengan wajah sedikit ketakutan.

Begitu juga dengan Akbar, kulihat pria kecil yang duduk di sebelah Gus An itu juga menoleh ke arahku dengan raut sedih.

"Kamu itu tanggung jawabku. Jadi, aku berhak menasehati kamu, aku berhak mengingatkan kamu!"

Aku hanya bergeming, dan tidak lagi membantah kalimat yang keluar dari mulut Gus An, karena aku tidak ingin anak-anak menjadi murung karena perdebatan ini.

****

Sesaat kemudian mobil telah sampai. Aku mulai keluar untuk mengantar Akbar dan Arkan menuju gerbang sekolah.

Tidak kusangka ternyata Randy yang sedari tadi membuntuti mobil Gus, turun dari motornya menyambut kami.

Dengan berjongkok mahasiswa semester tujuh itu menyapa Arkan dan Akbar yang baru keluar dari mobil.

"Hai twins boy!" sapanya dengan mengepalkan tangan mengajak mereka berdua tos.

Kedua bocah itu pun menyambutnya dengan senyum mengembang.

"Mau naik motor gedenya Om ganteng?"

Mahasiswa jangkung itu mulai menunjukkan motor gagahnya pada kedua putra Gus An tersebut.

Kedua bocah kecil itu pun mengangguk dengan meraih tangan Randy.

Gus An yang baru keluar dari mobil dan melihat keakraban mereka bergegas menghampiri.

"Arkan! Akbar!" serunya.

"Jangan bicara dengan orang yang tidak dikenal!" teriak laki-laki berjas abu-abu itu saat kedua anaknya menoleh.

Dengan kasar Gus An menarik kedua lengan anaknya yang tengah menggandeng tangan Randy.

Kedua bocah itu pun tampak bingung dengan wajah takut.

"Sini tanganga kalian!" kata Gus An kemudian.

Kulihat Arkan dan Akbar langsung menjulurkan kedua telapak tangannya ke hadapan Gus An.

Gus An bergegas meraih hand sanitizer di kantong jasnya, lalu menyemprotkan pada telapak tangan kedua putranya tersebut.

"Ingat! Tidak boleh berbicara dengan orang yang tidak dikenal! Apalagi sampai bergandengan tangan seperti tadi!" nasihat Gus An.

"Sekarang, ayo sana masuk!" perintahnya.

Dengan patuh kedua bocah itu pun berlari melewati satpam, masuk ke dalam gerbang sekolah.

Kak Randy yang saat itu berdiri kurang lebih dua meter di sisiku terlihat memperhatikan Gus An dengan wajah kesal.

Begitu juga dengan Gus An, laki-laki itu melirik Randy dengan wajah geram.

"Aku ke kampus dulu, Gus!" pamitku kemudian pada Gus An.

"Aku antar," sahut Gus An.

"Tidak usah, aku jalan kaki saja."

"Masuk, mobil!" perintahnya dengan menatapku tajam.

Tanpa berdebat aku pun bergegas masuk ke dalam mobilnya, karena aku enggan bertengkar dengan laki-laki itu dikeramaian.

***

Saat ini aku sudah duduk di kursi bagian belakang mobil Gus An.

Laki-laki itu juga mulai masuk ke dalam mobil dengan kemudian menghidupkan mesin mobilnya.

"Lain kali, jika ingin berteriak padaku, jangan di depan anak-anak, agar mereka tidak takut, dan itu juga tidak baik untuk psikologis mereka," tegurku dengan suara kesal.

"Kamu yang memulai," balas Gus An tidak mau kalah dengan melirikku sinis.

"Dengar ya, Fa! Lain kali jika naik mobil denganku, jangan duduk di belakang. Ingat! Yang pertama, aku ini bukan sopir, dan yang kedua, kita ini muhrim!" ucapnya dengan wajah geram.

Sungguh laki-laki ini teramat susah dikalahkan, dan selalu punya cara untuk membuat mulutku bungkam.

Aku menghela napas dengan kemudian membuang muka tanpa menjawabnya.

Dan, saat Gus An hendak menarik perseneling mobil, tiba-tiba terdengar suara motor diglayer.

Greng! Greng! Greng!

Aku dan Gus and tersentak dengan spontan menoleh ke belakang mobil kami.

Ternyata Randy yang menggleyer motornya.

Sepertinya mahasiswa tehnik sipil itu sengaja membuat Gus An marah.

Dan benar saja Gus An semakin murka melihat sikapnya.

Aku tersenyum geli melihat kekonyolan sikap Gus An yang berhasil dipermainkan oleh mahasiswa tengil seperti Randy.

"Dasar berandal! Kurang ajar! Beraninya dia main-main denganku!" ucap Gus An dengan memperhatikan motor Randy yang berjalan cepat melewati mobilnya.

Bersambung

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang