Bab 67 (Kemunafikan)

563 52 15
                                    

Entah kenapa kedatangan orang tua perempuan Gus An membuat hatiku cemas.

Dengan jantung berdebar aku masuk ke dalam rumah menyusul pak Jun, si Mbok, dan Ningsih yang melangkah terlebih dahulu dengan menggendong ketiga anak Gus An.

Saat sampai di ruang tamu, aku melihat Gus An tengah berbicara dengan suara lembut dengan merangkul ibunya.

Gus An tampak memeluk wanita cantik yang usianya mungkin sudah lebih dari lima puluh tahun itu.

Sekali pun ragu aku berusaha mendekat, memberi salam, lalu menjulurkan tangan untuk bersalaman.

Tampak wajah yang begitu dingin, dan melihatnya membuat detak jantungku semakin berdegup kencang.

Meski tubuh ini gemetar aku berusaha tersenyum, sekali pun wanita itu tidak membalasnya.

Kemudian dengan sopan aku membungkuk untuk mencium tangannya.

Namun wanita itu langsung menarik tangan mulusnya, menolak untuk aku sentuh.

Perlahan aku pun mundur dengan senyum tipis masih tersungging di bibir.

Gus An tampak menoleh ke arahku, memperhatikan wajah yang begitu menyedihkan ini.

"Fa! Temani anak-anak beristirahat!" pintanya lembut.

Dengan mengangguk aku pun berbalik meninggalkan ruangan itu, melangkah menuju kamar Adiba.

Setelah sampai di kamar aku mulai meletakkan beberapa tas belanjaan yang aku bawa dari bagasi mobil ke meja belajar Adiba.

Perlahan aku melangkah, lalu duduk di tepi ranjang.

Rasanya hati ini begitu terluka melihat sikap ibu Gus An yang teramat membenciku, dia adalah mertuaku, orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan Gus An.

Jika boleh menentang takdir, mungkin aku tidak akan memiliki menjadi istri Gus An, karena memiliki mertua seperti dia adalah sebuah tekanan.

Tapi semua sudah suratan, dan aku juga sudah terlanjur jatuh hati pada putranya.

Oh! Aku harus bagaimana? Apakah sikapku benar, jika setiap bertemu selalu menghindar?

Tidak! Apa pun alasannya, aku adalah menantunya. Aku mencintai putranya, berarti aku juga harus memenangkan cinta ibunya.

Aku harus berusaha melunakkan hatinya. Iya, aku harus berusaha meluluhkan hatinya agar dia bisa menerima dan mencintaiku.

***

Perlahan aku bangkit dari sofa, dengan percaya diri aku keluar dari kamar.

Aku melangkah menuju ruang tamu menghampiri Gus An dan ibunya untuk memulai keakraban, namun saat hendak menuju ruang tamu kudengar sayup suara Gus An tengah mengobrol di ruang makan.

Aku pun membelokkan langkah menuju ruang makan, namun seketika langkahku terhenti ketika mendengar obrolan mereka yang sepertinya tengah membicarakanku.

"Mama sengaja ke pesantren Al Anwar untuk menemui bulikmu. Mama tidak rela kalau mereka semua memaksa kamu untuk menikahi abdi ndalem itu."

"Ma ...."

Suara Gus An terdengar begitu lembut saat menyahut.

"Jangan membuat jantung mama copot, An. Jangan sampai kamu bilang kalau dedas desus pernikahan kamu dengan abdi ndalem itu benar-benar akan dilaksanakan!" kata wanita itu dengan suara emosional.

"Kamu sendiri yang pernah bilang sama mama, kalau kamu tidak pernah mencintai wanita itu, dan terpaksa menikah hanya karena amanah konyol almarhum istrimu. Jadi jangan buat mama syok, dengan kabar ini!" tambahnya.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang