Bab 52 (Gus An Depresi)

907 55 15
                                    

Pagi ini aku sudah bersiap untuk berangkat ke kampus.

Gus An tampak berdiri di depan pintu memperhatikanku yang tengah merapikan jilbab di depan cermin meja rias.

"Tolong jadwal rapat dimundurkan satu jam lagi, karena aku masih ada kepentingan," kata Gus An pada seseorang saat menempelkan gawai di sisi telinga kanannya.

Aku memperhatikan laki-laki itu dari cermin. Entah kenapa dia harus menunda jadwal rapat, mungkin karena pagi ini masih tidak bosan membuntutiku ke kampus.

'Ah! Tidak! Tidak! Aku tidak boleh terlalu percaya diri, laki-laki itu terlalu susah untuk ditebak, jadi aku tidak boleh terbawa rasa dengan semua tindakannya.'

Setelah mengakhiri percakapan, Gus An mulai menghampiriku.

"Ayo cepat, aku antar ke kampus!" ajaknya.

"Tidak perlu lama-lama berdandan! Tahu kan, apa dosa yang akan kamu terima, jika kecantikanmu, kamu gunakan untuk memikat laki-laki lain," ucapnya dengan memperhatikanku yang masih memasang bros bentuk kupu-kupu di sisi kiri jilbab yang menjuntai di dada.

'Aku cantik? Oh! Dia memuji atau menghina? Nada suaranya begitu ketus.'

Aku pun perlahan menoleh, memperhatikan sikapnya yang begitu angkuh.

"Kamu sudah punya suami, ingat itu!" katanya dengan menunjuk wajahku lalu kemudian berbalik dan melangkah meninggalkan kamar kami.

Aku pun bergegas mengikuti langkahnya.

"Aku masih belum menyiapkan bekal untuk anak-anak. Kalau Gus An terburu-buru, aku bisa berangkat dengan Pak Jun," kataku santai seraya tersenyum lembut.

Gus An pun menghentikan langkah, lalu menoleh ke arahku.

"Kenapa tidak mau aku antar? Kamu ada janji dengan laki-laki yang selalu mengejarmu?"

Gus An menatapku tajam.

"Mmm ... tidak," jawabku gugup.

Sungguh tatapannya begitu menakutkan.

"Hari ini Ningsih yang akan mengantar anak-anak ke sekolah. Ayo cepat masuk mobil!" perintahnya dengan berbalik dan berjalan cepat keluar dari rumah.

Tidak ada pilihan aku pun bersikap patuh, ikut berjalan cepat di belakangnya.

Saat di halaman rumah, dia terlihat tergesa menuju mobil, lalu menutup pintu dengan keras.

Aku yang semula ingin duduk di kursi belakang, mengurungkan niat. Bisa-bisa dia akan semakin marah padaku karena sudah menjadikannya sopir pribadi.

Sejujurnya berdebat dengannya di pagi hari akan mempengaruhi suasana hati saat belajar di kampus nanti.

Tanpa pikir panjang, bergegas aku membuka pintu mobil bagian depan lalu duduk di sebelahnya.

"Sabuk pengamanmu," katanya tanpa menoleh ke arahku.

"Iya."

Aku mengangguk seraya menarik benda pipih yang ada di sisi kiri tempat dudukku.

Setelah memakai sabuk pengaman. Aku lihat dia mulai menarik perseneling dan melajukan mobilnya.

Sikapnya begitu dingin, angkuh, dan sombong.

Apa coba tujuannya mengantarku, jika di dalam mobil dia bersikap begitu tak acuh.

Ah! Dia, benar-benar laki-laki yang sulit untuk dimengerti.

Aku mengalihkan pandangan mencoba mengabaikan sikapnya dengan meraih gawai dalam tas kuliah yang kurasakan sedari tadi bergetar.

Benar saja. Ada beberapa notifikasi yang masuk.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang