Bab 66 (Tamu di rumah Gus An)

587 45 15
                                    

"Fa! Fa!"

Kurasakan seseorang mengguncang tubuhku.

Perlahan aku membuka mata, aku menoleh. Kulihat Gus An memperhatikan lekat wajahku.

"Mimpi apa, sampai menangis seperti itu?" tanyanya penasaran.

Aku bergeming dengan terus menatap wajahnya dalam, sedikit pun tidak ada bercak darah di wajahnya.

"Gus!" gumamku dengan kemudian bangkit dari kursi untuk memeluknya.

Gus An tercengang.

"Fa, kamu kenapa?" tanyanya lagi.

Aku melepaskan pelukanku dengan kembali duduk di posisiku semula.

Isak tangis ini masih saja tidak bisa aku bendung.

"Fa, kamu kenapa?" tanya Gus An sembari meraih botol air mineral, lalu dijulurkannya padaku.

"Ayo minum dulu!" perintahnya.

Aku pun meraih botol air mineral itu kemudian meneguknya perlahan.

"Mimpi apa? Ayo cerita?" tanya Gus An dengan menyentuh lembut bahuku

"Aku mimpi ... mobil kita mengalami kecelakaan ... dan Gus An ... meninggal."

Aku menoleh dengan kembali meneteskan air mata.

"Astaghfirullah hal adzim."

Gus An menghela napas dalam sembari menarik tisu kemudian menyeka lembut air mata di pipiku.

"Itu akibatnya jika tidur tidak berdoa. Sudah! Jangan menangis lagi! Mimpi itu, kembange turu, begitu kata Mbah Nyai. Wis! Sekarang lupakan mimpi buruk itu. Ganti dengan doa yang bagus-bagus. Okey!" nasihat Gus An dengan tersenyum lembut, kemudian kembali berkonsentrasi mengemudi, menarik perseneling mobil dan melajukannya kembali, karena lampu merah di perempatan jalan telah berganti hijau.

Aku pun mulai mengatur napas dengan mencoba menenangkan emosi di dadaku.

Kuikuti nasihat Gus An, berdoa yang baik-baik. Iya, seharusnya itu yang aku lakukan.

Aku bersyukur, ternyata sesuatu yang baru saja terlihat nyata hanyalah sebuah mimpi.

'Oh, Gus! Semoga kamu selalu sehat dan selamat.'

"Sudah! Jangan menangis!"

Gus An kembali menyentuh lembut bahuku saat melihat wajahku yang kembali tertunduk lesu.

"Fa! Pasti kamu lapar. Isi perutmu tadi 'kan, sudah keluar semua," kata Gus An.

"Tidak. Aku belum lapar," sahutku masih dengan wajah lesu.

"Sudah! Jangan sedih. Hari ini kita harus berbahagia."

Gus An menggenggam tangan kananku, berusaha menghibur agar aku tidak terlalu larut dalam mimpi buruk itu.

"Anak-anak mau makan di mana?"

Kemudian dia bertanya dengan suara lantang pada anak-anaknya.

Spontan anak-anak menyahut dengan menyebut rumah makan cepat saji favorit mereka.

"Boleh 'kan, Bi. Makan di sana?" rayu Adiba.

"Boleh, tapi jangan sering-sering, karena makanan cepat saji itu kurang sehat," sahut Gus An dengan sejenak menoleh ke arah gadis kecil yang memeluk lehernya dari belakang.

Akhirnya setelah mobil melaju beberapa meter, Gus An membelokkannya ke lahan parkir sebuah restoran cepat saji yang saat ini tengah viral di kotaku.

"Ayo turun!" ajak Gus An setelah mobil berhenti.

Abdi NdalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang